Pages

Sunday, March 6, 2011

Perlindungan Anak di Indonesia

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

NILAI ANAK
Nilai anak dalam masyarakat sangat beragam, bergantung lingkungan sosial budaya masyarakat, tetapi yang pasti dari masa ke masa selalu mengalami pergeseran. Pemahaman akan nilai anak sangat penting karena persepsi nilai anak akan mempengaruhi pola asuh orang tua dan masyarakat terhadap anak, serta kebijakan negara/pemerintah terhadap dunia anak. Ada 3 pandangan utama tentang anak. Pertama anak sebagai nilai sejarah, yang berkembang di dalam keluarga raja, elite penguasa, yang dalam perkembangannya diikuti oleh komunitas penyangga keberadaan elite penguasa tersebut yaitu keluarga priyayi. Perspektif anak sebagai nilai sejarah berarti anak harus meneruskan sejarah dinasti, sejarah garis keturunan ke depan. Raja atau pemimpin-pemimpin masyarakat di masa lalu sangat membanggakan anak laki-laki, karena secara tradisi laki-lakilah yang bisa menggantikan posisinya sebagai raja.
Kedua, nilai ekonomi. Nilai ini tumbuh pada lapisan masyarakat umum dipandang sebagai nilai ekonomi karena dari anak-anak akan membantu menyangga kehidupan ekonomi keluarga, apalagi bila orang tua mereka sudah beranjak tua.
Dalam realitas sosial, anak-anak di pedesaan sejak usia sangat awal sudah membantu orang tua ikut membawa dagangan ke pasar, mencangkul di sawah, menyiangi rumput di kebun, dan pada saat panen anak-anak dikerahkan untuk ikut memanen hasil pertaniannya, sehingga banyak di antara mereka yang meninggalkan bangku sekolah.
Para akivis perlindungan anak memperkirakan jumlah anak dipekerjakan mencapai 6000 hingga 12.000 orang[3], KPAI memperkirakan jumlah pekerja anak mencapai 2.685 juta anak.[4]
Mereka tidak hanya bekerja pada sektor domestik atau pekerjaan membantu meringankan beban orang tua seperti merumput, mencari kayu bakar, mengambil air di sumur, tetapi bekerja di sektor formal. Tidak jarang mereka bekerja pada area yang membahayakan dan membunuh masa depan anak-anak, yang disebut sebagai jenis-jenis pekerjaan terburuk. [5]
Ketiga, pandangan bahwa anak adalah amanah Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dididik sesuai potensi yang dimiliki. Padangan yang lebih religius ini melihat, anak bukan sekedar anak keturunan biologis dari seseorang, tetapi titipan Tuhan yang harus dijaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, tanggung jawab orang tua terhadap anak bukan hanya tanggung jawab pribadi atau antar manusia saja, tetapi ada tanggung jawab transendental antara manusia dengan Tuhan.

2. PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Nilai anak yang kemudian dijadikan norma universal adalah bahwa anak juga dilihat sebagai manusia utuh, yang oleh karenanya memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Perlindungan anak, dengan demikian merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia.
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia misalnya menyebutkan bahwa ”Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai budi dan hati nurani dan kehendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”.
Sementara pada pasal 2 Deklarasi Universal tersebut menyatakan,”Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya....”. Berkaitan dengan hukum, pasal 9 menyebutkan,”Tidak seorang pun dapat ditangkap, ditahan, atau diasingkan secara sewang-wenang”. Dan untuk anak-anak, pada pasal 25 ayat 2 disebutkan; ”Ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama”.
Seorang expert tentang perlindungan anak Peter Newel, mengemukakan beberapa alasan subyektif dari sisi keberadaan anak sehingga anak membutuhkan perlindungan, yaitu:[6]
a. Biaya untuk melakukan pemulihan (recovery) akibat dari kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;
b. Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (unaction) dari pemerintah ataupun kelompok lainnya;
c. Anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik;
d. Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan loby untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;
e. Anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan pentaatan hak-hak anak;
f. Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.

3. KONVENSI HAK-HAK ANAK
Tuntutan para aktivis perempuan banyak mendapat respon dari komponen masyarakat termasuk para pemimpin-pemimpin dunia. Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa, yang dikenal sebagai ”Deklarasi Jenewa”.
Perkembangan penting dalam sejarah hak asasi manusia (HAM) terjadi pada tanggal 10 Desember 1948 ketika PBB mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia, yang kemudian dikenal sebagai ”Hari Hak asasi Manusia Sedunia”. Beberapa hal menyangkut hak khusus anak tercantum di dalam deklarasi ini, sebagaimana penulis kutip pada paragraf di atas.
Walaupun ketentuan tentang anak sudah masuk dalam Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia, tetapi para aktivis perlindungan anak masih menuntut adanya ketentuan-ketentuan khusus. Tuntutan tersebut direspon, ketika pada tahun tanggal 20 November 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan Pernyataan yang disebut sebagai Deklarasi Hak Anak, dimana merupakan deklarasi internasional kedua, yang antara lain menyatakan:”Anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas, oleh hukum atau peraturan lainnya, untuk memungkinkan tumbuh jasmaninya, rohaninya, budinya, kejiwaannya,dan kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajar dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini, perhatian yang terbaik pada saat anak harus menjadi pertimbangan utama. (Asas 2).
Jalan ke arah realisasi pemenuhan hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam dua deklarasi internasional terjadi pada tahun 1979, ketika tahun 1979 dicanangkan sebagai ”Tahun Anak Internasional”. Untuk momentum ini, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child/CRC).
Pada tahun 1989, rancangan KHA diselesaikan dan pada tahun ini pula naskah akhir disyahkan dengan bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989, yang dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Sejak itulah, anak-anak di seluruh dunia memperoleh perhatian secara khusus dalam standar internasional.
Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh hampir semua anggota PBB, yang menandakan bahwa semua bangsa di dunia sepakat dan sepaham untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam KHA tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasi KHA berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990.
KHA terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara pihak yang meratifikasi KHA. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam KHA tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu[7]:
a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the highest standard of health and medical care attainable).
b. Hak terhadap Perlindungan (protection right), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan anak-anak pengungsi.
c. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non-formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak.
d. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views in all matters affecting that child).
Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, ia termasuk klaster perlindungan khusus. Beberapa pasal yang berhubungan dengan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum adalah:
Pasal 37 menyebutkan, negara-negara peserta harus menjamin bahwa:
(a) Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi, atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;
(b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat.
(c) Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara yang mengikat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umumnya. Terutama, setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatan tersebut diangap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa.
(d) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkat keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu.
Pada pasal 40 CRC cukup rinci diuraikan bagimana Negara melindungi anak yang berkonflik dengan hukum:
a. Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif masyarakat.
b. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka negara-negara pihak, terutama, harus menjamin bahwa:
(1) Tidak seorang anak pun dapat dimintakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan;
(2) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:
(i) Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;
(ii) Diberi informasi segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lainnya yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
(iii) Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adail menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik bagi si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;
(iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah, untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan;
(v) Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum;
(vi) Mendapat seorang penterjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan;
(vii) Kerahasiannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkatan persidangan.
c. Negara-negara pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama:
(a) Pembentukan umur minimum, di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
(b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
d. Berbagai pengaturan, seperti perawatan,bimbingan dan pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi KHA oleh karena itu ia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan dalam hukum positif secara nasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi warga negaranya.

4. DEFINISI ANAK
Siapakah anak? Setiap negara memiliki definisi yang tidak sama tentang anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa, di dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHA menetapkan definisi bahwa ”Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Semestinya setelah lahir Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex spesialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus menyesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak.
Dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Masih banyak disharmonisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Beberapa undang-undang bisa disebutkan:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak mendefiniskian anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.
f. Dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.



5. PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA
Komitmen negara terhadap perlindungan anak, sesungguhnya telah ada sejak berdirinya negara ini. Hal itu bisa dilihat di dalam konstitusi dasar kita, pada Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi oleh konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya, dilakukan melalui proses pendidikan, di mana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari segala usia. Anak secara eksplisit disebutkan dalam pasal 34 pada bagian batang tubuh yang berbunyi;”Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Ketika KHA dideklarasikan Indonesia termasuk negara yang ikut aktif membahas dan menyetujuinya. Tidak sampai satu tahun sejak ditetapkannya CRC, pemerintah Indonesia meratifikasi melalui Kepres Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990. Meratifikasi, berarti negara secara hukum internasional terikat untuk melaksanakan isi ratifikasi tersebut, yang tercermin dalam regulasi yang disusun serta implementasinya. Oleh karena itu sejak tahun 1990, Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam Konvensi Hak anak.
Tahun 1997 pemerintah mengintrodusir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dengan segala kelemahannya, untuk masanya, undang-undang ini dipandang sebagai bagian dari perhatian negara terhadap anak. Tidak bisa dilupakan pula, bahwa pada tahun 1999 pemerintah Indonesia mengeluarkan UU nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya menyebutkan tentang anak. Kelahiran undang-undang ini dinilai sebagai awal mula Indonesia secara lebih serius memperhatikan hak asasi manusia, setelah lebih dari 30 tahun masyarakat Indonesia hidup di bawah rezim Orde Baru yang menindas dan banyak melakukan perampasan terhadap hak asasi manusia.
Tetapi puncak perjuangan perlindungan anak terjadi pada tahun 2002 ketika instrumen regulasi memberikan komitmen yang lebih jelas terhadap perlindungan anak. Pertama amandemen UUD 1945, dengan memunculkan pasal tambahan tentang anak, yakni pada pasal 28 B ayat 2 yang berbunyi: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Kedua, dengan diintrodusirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun di dalam konsideran tidak mencantumkan KHA, tetapi sangat jelas bahwa UU Perlindungan Anak merupakan turunan subtantif dari KHA. Hal ini dibuktikan dengan:
1. Pada pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi :
a) Non diskriminasi;
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
2. Pada penjelasan pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa hak anak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
3. Pasal-pasal yang terkandung di dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya menyangkut hak-hak anak sangat mirip dengan KHA, kecuali masuknya pasal 19 yang berisi kewajiban anak.
Berkaitan dengan anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum, UU Nomor 23 tahun 2002 memuat beberapa pasal, di antaranya Pasal 16 yang menyatakan bahwa :
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 menyatakan bahwa:
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Sementara itu pada pasal 18 dinyatakan bahwa, ”Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Pada pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,...”.
Kemudian pada pasal 64 dicantumkan beberapa butir yang lebih rinci sebagai berikut:
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud ayat 10 dilaksanakan melalui:
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

6.PARADIGMA KEADILAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
a. Pengertian Keadilan Bagi ABH
Pengertian keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum. Targetnya adalah bahwa noma-norma, prinsip dan standar hak-hak anak secara penuh diaplikasikan untuk semua anak tanpa kecuali, ketika mereka berhadapan dengan hukum, baik ia sebagai korban, saksi, maupun ketika diduga, didakwa atau telah dinyatakan sebagai pelaku pelanggar tidak pidana, atau yang selanjutnya disebut sebagai anak-anak yang behadapan atau berkonflik dengan hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan ketika anak dalam posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum ketika anak diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana.
Akses terhadap keadilan bagi anak juga bertujuan agar mereka dapat mencari dan mendapatkan pemulihan dalam proses peradilan, baik pidana maupun perdata.[8] Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan Bappenas meyakini, bahwa akses terhadap keadilan hanya dapat dicapai apabila inisiatif pemberdayaan hukum juga mengikutsertakan anak. Setiap anak harus diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-haknya yang dilindungi oleh hukum serta kepada masyarakat agar dukungan terhadap pemenuhan hak-hak anak juga didapatkan dari lingkungan sosial.
Satu kenyataan bahwa hambatan akses terhadap keadlan bagi anak justeru sering datang dari masyarakat itu sendiri, yang menyebabkan perilaku birokrasi dan aparat penegak hukum memperoleh legitimasi dalam memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Isu anak ABH di Indonesia belakangan menjadi isu yang banyak menyedot perhatian para aktivis dan pengamat perlindungan anak karena setiap tahun jumlahnya terus bertambah. Setiap tahun sekitar 6000 anak menghuni Lapas Anak, dan masih ribuan lagi anak-anak yang berada di Lapas Dewasa, atau tempat-tempat tahanan lainnya.

b. Prinsip-Prinsip Keadilan Bagi Anak
Perlindungan anak dan akses keadilan bagi anak adalah bagian dari implementasi nilai-nilai hak asasi manusia berdasarkan prinsip-prinsip : non-diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dari prinisip dasar perlindungan anak tersebut, serta elaborasi dari sekian instrument internasional[9], kiranya dapat dibreackdown dalam 12 (Dua belas) prinsip-prinsip keadilan seperti diuraikan di bawah ini.
1). Pelaku adalah korban
Pelaku kenakalan anak adalah korban. Memang, mungkin terbukti anak yang melakukan sebuah tindak kenakalan, memang anak melanggar hukum positif, memang atas kelakukannya mungkin akan mengganggu tertib sosial, memang karena kenakalannya membuat publik marah, dan memang karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan mendatangkan kematian dan siksa orang lain, namun apapun alasannya, sesungguhnya dia adalah korban.
Korban dari apa, siapa dan dari mana? Dia korban dari perlakuan salah orang tuanya, dia korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban kebijakan pemerintah lokal, atau dia korban dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan psikis sehingga anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya belum/tidak dilakukan, bahkan karena suatu nilai-nilai terinternalisasi sejak usia dini maka ia tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum.
2). Pertimbangan Kepentingan terbaik
Membangun masa depan adalah membangun dunia anak. Program-program pembangunan eknomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan lainnya, termasuk penghargaan akan hak asasi manusia adalah kehendak untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik daripada hari ini untuk anak-anak. Kenyataan tersebut diakui oleh para pemimpin Negara di berbagai belahan dunia. Unicef dalam salah satu catatan akhir tahunnya (2007), menyatakan bahwa ukuran sejati pencapaian sebuah bangsa dan keselamatannya, kesejahteraannya, pendidikan dan sosialisasinya dan perasaan dikasihi, dihargai dan diikut sertakan di dalam keluarga-keluarga dan masyarakat tempat mereka dilahirkan. Perhatian terhadap dunia anak adalah ukuran sejauh mana sebuah masyarakat menempatkan posisi anak di dalam pembangunan nasionalnya.
Dengan prinsip tersebut, penanganan ABH hendaknya harus memastikan jaminan:
a) Anak tidak terputus hubungannya dengan orang tua.
Aparat penegak hukum tidak akan pernah menahan anak tanpa sepengetahuan orang tuanya. Selama penyelidikan, penyidikan, dan pembuatan berita acara pemeriksaan harus didampingi orang tua atau wali. Polisi akan membatalkan segala tindakan terhadap anak selama anak tidak didampingi oleh orang tuanya. Apabila dengan sangat terpaksa terjadi penahanan anak, akses komunikasi orang tua terhadap anak harus dibuka seluas-luasnya tanpa batas waktu dan tempat. Penghalangan komunikasi orang tua dengan anak yang berkonflik dengan hukum oleh aparat hukum adalah sebuah kejahatan aparat Negara dan harus memperoleh hukuman berat. Untuk menjamin berjalannya prinsip ini, Negara harus memperbanyak “Polisi Anak”, “Jaksa Anak”, dan “Hakim Anak”. Aparat penegak hukum anak tersebut harus tersedia pada setiap unit terendah; Polisi Sektor (Polsek) untuk “Polisi Anak”, “Jaksa Anak” dan “Hakim Anak” untuk unit di Kabupaten/Kota.
b) Anak tidak terputus hak pendidikan, kebudayaan, kan pemanfaatan waktu luang
Pendidikan adalah hak tertinggi seorang anak karena dengan hak ini keberlangsungan hidupnya disandarkan, oleh sebab itu tidak boleh ada seorang pun dan satu lembaga pun atas nama apa pun yang berwenang merampas hak pendidikan, minimal 9 tahun atau anak kira-ira berusia sampai 16 tahun. Maka penindakan, pemidanaan, dan proses peradilan lainnya tidak boleh menghilangkan kesempatan belajar, baik secara fisik maupn secara psikis. Aparat hukum harus memberitahukan kepada guru/kepala sekolah di mana anak belajar atas persoalan yang sedang dihadapi, dan guru/kepala sekolah diajak berpartisipasi ikut mencari penyelesaian terbaik atas kasus yang menimpa anak didiknya.
c) Anak memperoleh kebutuhan hidup yang memadai sehingga tidak mengganggu tumbuh kembang
Polisi, jaksa, dan hakim harus menyediakan ruang khusus untuk anak, sejak dari pemeriksaan, penahanan, dan persidangan. Proses peradilan anak harus batal demi hukum manakala aparat penegak hukum tidak mampu menyediakan sarana dan prasarana primer bagi anak-anak. Ia harus terjamin kebutuhan makan dan minum, buku-buku bacaan sehat, dan sarana bermain/ekspresi lainnya.
d) Anak memperoleh layanan kesehatan
Sebelum aparat hukum menindak dan mempidanakan, harus dipastikan anak dalam keadaan sehat. Selama proses peradilan aparat hukum harus menyediakan layanan kesehatan yang memadai. Apabila terpaksa anak ditahan, maka aparat penegak hukum harus menyediakan fasilitas kesehatan yang secara rutin memeriksa kesehatan anak. Apabila anak sakit di dalam tahanan, aparat hukum yang menahan harus mempertangung jawabkannya dan anak harus dibebaskan untuk kesempatan pertama/segera.
e) Anak terbebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan
Aparat penegak hukum adalah teladan bagi anak-anak, oleh karena itu ia harus ramah, berlaku sopan, dan bertindak dengan penuh keadaban terhadap anak. Aparat penegak hukum tidak boleh melakukan tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, sekecil apa pun, baik berupa gerakan, kata-kata umpatan/pelecehan, terleih lagi berupa tindakan kekerasan fisik. Pelanggaran atas ketentuan ini harus memperoleh hukuman berat.
f) Tidak menimbulkan trauma psikis
Pemeriksaan terhadap saksi, korban, maupun pelaku harus dilakukan dengan metode khusus dan terlatih. Subyek perempuan hendaknya ditangani oleh aparat penegak hukum perempuan. Aparat penegak hukum tidak akan melecehkan anak, dengan meminta subyek anak memperagakan kejadian yang menyebabkan ia berhadapan dengan hukum, lebih-lebih untuk kasus pelecehan seks. Untuk kasus perkosaan, polisi dilarang keras melibatkan korban untuk kegiatan rekonstruksi peristiwa karena akan memperparah trauma psikis korban, serta mempermalukan di depan umum.
g) Tidak boleh ada stigmasi dan labelisasi pada anak-anak
Peradilan terhadap anak adalah bagian dari pendidikan terhadap warga Negara. Oleh sebab itu peradilan anak tidak boleh diletakkan sebagai ajang pelampiasan dendam, melainkan pembinaan generasi muda untuk menjadi manusia bertanggung jawab. Oleh sebab itu, asas praduga tak bersalah harus dikedepankan oleh aparat penegak hukum. Labelisasi dan stigmasi bahwa ia nakal/jahat/vandalis/ kriminal/narapidana, dan sebagainya harus dihapus karena apa pun yang dilakukan sesungguhnya merupakan bagian perjalanan hidup manusia menemukan jati dirinya.
h) Tidak boleh ada publikasi pengungkapan identitas pada anak yang berkonflik dengan hukum
Untuk menghindari labelisasi dan stigmasi di atas, maka seluruh rangkaian peradilan anak bukan untuk konsumsi publikasi. Pelanggar ketentuan ini, baik sumber berita maupun media yang mempublikasikan harus diberi sanksi. Kalau pun ada publikasi, hanya bersifat pengungkapan kasus dalam rangka kontrol masyarakat, dan pembelaan dan advokasi, tetapi bukan sebagai bahan eksploitasi kasus, dan pengungkapan-pengungkapan ala infotaintment.

3.Tidak mengganggu tumbuh kembang anak
Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum tidak boleh mengganggu tumbuh kembang anak. Seorang anak adalah sosok pribadi otonom yang sedang tumbuh dan berkembang. Ia akan mencapai pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (psikis) optimal apabila memperoleh jaminan pemihan hak-haknya serta dilindungi dari perlakuan salah, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi.
Ini berarti sejak dalam kandungan seorang anak tidak boleh kekurangan gisi, tidak boleh menghirup udara kotor, tidak boleh kemasukan zat-zat kimia berbahaya, tidak boleh menghirup nikotin, dan sebagainya. Setelah lahir pun ia mesti memperoleh asupan gisi yang memadai, pengasuhan yang kondusif, pendidikan yang berkualitas, terhindar dari penyakit menular, serta tingkat kesehatan yang prima. Dalam hal perlindungan khusus tentu saja agar tidak terganggu tumbuh kembang anak maka ia tidak boleh menerima kekerasan apalagi penyiksaan, penelantaran, diperdagangkan, menjadi budak nikotin-minuman keras-narkoba, pornografi, dan perlakuan lain yang membuat waktunya habis dalam tekanan sistematis tanpa mampu melakukan perlawanan dari dalam dirinya.
Itulah maka pada tahun 2002 PBB mengeluarkan deklarasi Dunia Yang Layak anak, yang antara lain berisi seruan dari para pemimpin dunia; ” Kami menegaskan kembali kewajiban untuk bertindak guna meningkatkan dan melindungi hak-ahak setiap anak yaitu setiap umat manusia yang berumur di bawah 18 tahun termasuk para remaja. Kami bertekad untuk menghargai martabat dan mengamankan kesejahteraan semua anak. Kami mengakui bahwa Konvensi Hak-hak Anak, yaitu konvensi yang paling universal cakupannya sepanjang sejarah, serta protokol pilihannya, memuat seperangkat standar legal internasional yang komprehensif bagi perlindungan kesejahteraan anak. Kami juga mengakui pentingnya instrumen-instrumen internasional lainnya yang relevan bagi anak-anak.”[10].
Dengan semangat itu, maka dengan alasan apapun, semua orang dewasa, aparat hukum, apalagi negara, tidak boleh mengenakan perbuatan yang bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Tugas orang dewasa adalah membantu tumbuh kembang anak secara optimal, bukan malahan menghambat dan mengganggunya.

4. Peghargaan Pendapat Anak
Di dalam masyakat ada stigma bahwa di dalam nilai tawar psikis adalah minor, sedangkan orang dewasa adalah mayor. Pandangan ini berlanjut pada doktrin masyarakat bahwa kebenaran hanya milik orang dewasa yang harus diikuti secara taqlid oleh anak. Orang dewasa adalah subyek yang berhak atas kata me (memerintah, menentukan masa depan, memilihkan, mengarahkan, member, dan sebagainya), sedangkan anak adalah obyek yang hanya punya hak kata di (diberi, disuruh, diperintah, diarahkan, ditentukan, diajar, dihukum, dan sebagainya). Prinsip perlindungan anak melihat anak juga sebagai subyek yang memiliki hak asasi manusia. Oleh sebab itu pendapat anak juga harus dihargai. Oleh karena itu, semua aparat penegak hukum yang menangani kasus ABH harus bertindak professional dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Memperlakukan anak sebagai pribadi manusia utuh yang sedang berkembang, tidak boleh melihat anak sebagai orang dewasa dalam bentuk mini.
b. Memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum dengan cara-cara yang persuasif, bukan dengan cara-cara menakut-nakuti, mengancam, apalagi melakukan penyiksaan (turture).
c. Melibatkan unsur-unsur profesional seperti; pekerja sosial professional (professional social worker), psikolog, guru, dan tokoh-tokoh lokal.
d. Aparat penegak hukum tidak hanya berkutat pada pertanyaan apa dan bagaimana sebuah tindakan pelanggaran hukum dilakukan oleh anak, tetapi yang lebih penting adalah menggali pertanyaan mengapa sebuah pilihan tindakan dilakukan.
e. Anak harus diberi kesempatan bicara seluas-luasnya, tidak banyak dipotong oleh pertanyaan-pertanyaan penegak hukum sehingga akan menghambat ekspresi anak.
f. Aparat penegak hukum tidak memberikan vonis-vonis awal yang menimbulkan trauma psikologis seperti; “Bohong, goblog, dasar berandal, bangsat, dasar preman kecil…”, dan sebagainya.
g. Pendapat anak harus menjadi dasar utama dalam mengambil tindakan hukum selanjutnya.

5. Prinsip adil dan setara
Prinsip ini mengharuskan aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum memperlakukan anak-anak tanpa membedakan status sosial, asal usul, agama, ras, dan sebagainya. Menurut Purnyati, sekitar 80 persen anak-anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari keluarga di mana orang tuanya bematapencaharian buruh bangunan, karyawan pabrik, pedagang kecil, sopir, dan petani gurem[11].Menjadi pertanyaan besar mengapa anak-anak yang menjadi penghuni Lapas Anak sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Apakah anak-anak yang berhadapan dengan hukum selalu identik dengan anak-anak dari keluarga miskin? Layaklah bila masyarakat menaruh rasa curiga, jangan-jangan aparat penegak hukum selalu mempidanakan anak-anak yang melanggar hukum karena mereka tidak memiliki nilai tawar di hadapan para penegak hukum. Berbeda dengan anak-anak dari kalangan keluarga mampu, yang memiliki akses keadilan dan bargaining position sehingga terhindar dari pemidanaan dan pemenjaraan. Anak-anak harus diperlakukan dengan adil dan setara agar ia sejak dini belajar tentang keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial.

6. Kepastian hukum
Anak-anak pada usianya sedang dalam proses belajar menuju kedewasaan, termasuk di dalamnya belajar tentang tanggung jawab sosial, etika, dan adab suatu masyarakat. Oleh karena itu, ia harus diberitahu tentang nilai-nilai yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum. Bila ia melanggar hukum anak harus tahu hukuman apa yang akan diterima, sehingga setiap perbuatan telah diketahui resikonya.
Jangan sampai seorang anak dilanda kebingungan sosial karena sebuah tindakan pada suatu kali memperoleh hukuman ringan, suatu kali hukuman berat, suatu kali tidak dihukum, bahkan suatu kali dibiarkan begitu saja. Ketidak pastian hukum akan menjadi awal ketidakpercayaan seorang anak terhadap hukum suatu Negara/ masyarakat, dan kelak akan melahirkan ketidak pedulian hukum.

7. Pencegahan Kenakalan Anak
Tidak kalah pentingnya adalah aspek preventif atau pencegahan terhadap kenakalan anak . Ini soal yang tidak mudah. Tidak hanya menyangkut sejumlah larangan bagi anak untuk melakukan sesuatu yang dianggap tabu atau melanggar hukum, tetapi lebih menciptakan kondisi di mana anak tunduk pada norma-norma tertib sosial. Kenakalan bisa hadir dan diterima oleh masyarakat dalam konteks dan batas-batas pencarian identitas diri dan ekspresi spontan manusiawi, tetapi bukan tindakan yang mendestruktif diri sang anak, serta membahayakan bagi orang lain.
Dalam hubungan ini reformasi pendidikan merupakan sebuah kemutlakan. Pendidikan tidak sekedar memberikan doktrin-doktrin nilai lama yang menjadi kebenaran tidak terbantahkan, tetapi pendidikan yang selain mewariskan nilai lama juga melahirkan kreator. Ini artinya pendidikan harus mampu menggali dan mengembangkan potensi diri seorang anak, sehingga anak mampu menikmati proses pendidikan, bukan merasa tersiksa dan bereaksi dengan melakukan pemberontakan, deviasi sosial, bahkan vandalisme budaya.

8. Mindset Peradilan Anak
Mindset peradilan anak harus ditinjau kembali bila sungguh-sunguh menginginkan anak-anak mampu memperoleh akses keadilan sejati. Mindset yang ada di kebanyakan Negara, peradilan anak dilahirkan dalam posisi untuk mengadili anak karena anak-anak yang masuk dalam pusaran peradilan dipandang sebagai kriminal yang harus dipenjara. Tidak sedikit yang bahkan yang menatap peradilan anak sebagai ajang pelampiasan balas dendam secara formal dari “orang baik-baik” kepada “anak-anak jahat”.
Saatnya dibangun mindset peradilan anak yang dalam semangat melindungi, sehingga ke depan pemikiran-pemikiran yang muncul adalah:
a) Peradilan anak harus merupakan system peradilan tersendiri yang bukan merupakan bagian dari sistem peradilan umum.
b) Pertimbangan-pertimbangan dalam peradilan anak bukan hukum ansich, tetapi juga aspek sosial, budaya, moral, dan nilai-nilai lokal.
c) Dasar pemikiran implementasi peradilan anak bukan hukum formal yang jumud, tetapi hukum progresif yang diabdikan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, bukan sebaliknya menindas nilai-nilai kemanusiaan.
d) Bukan memperbanyak penjara, tetapi mengurangi dan meniadakan penjara anak;
e) Bukan memperbanyak pasal-pasal dalam undang-undang peradilan anak, tetapi menghapus pasal-pasal yang mengkriminalisasi anak;
f) Bukan menyesuaikan dengan berbagai ketentuan standar miminal instrument internasional, tetapi malahan jauh melebihi pemenuhannya;
g) Bukan memperbanyak polisi dan jaksa, tetapi memperbanyak psikolog dan pekerja sosial professional;
h) Bukan sibuk mencari pembenaran penghukuman, tetapi mencari langkah-langkah diversi dan restorative justice.
i) Hukuman kepada anak diorientasikan sebagai proses pembelajaran dan penemuan jati diri anak, bukan balas dendam, dan penyiksaan.
j) Sebagai proses pembelajaran, maka hukuman bagi anak dipandang sebagai hal biasa, tidak perlu ada stigmasi/labelisasi bahwa ia narapidana atau sejenisnya.
k) Tidak ada pemidanaan (straaff) bagi anak, yang ada hanyalah tindakan (maatregel).[12]
l) Aparat penegak hukum sebagai pelindung, bukan pengadil.

9. Pemidanaan sebagai upaya terakhir
Prinsip keadilan yang kesembilan adalah bahwa pemindanaan dan pemenjaraan sebagai upaya terakhir. Dengan menyadari bahwa anak melakukan perbuatan tidak sepenuhnya dengan kesadaran dan sesungguhnya merupakan korban dari orang-orang sekitarnya dan lingkungan sosialnya, maka semestinya bahwa pemenjaraan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Oleh sebab itu, selain diadili, dalam hukum positif kita, ia selain diadili juga harus dilindungi agar tidak semakin jauh terjebak dalam perilaku vandalis.
Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak memberikan pesan bahwa:
(a) Tidak seorang anak pun akan mengalami siksaan atau
kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik hukuman mati atau hukuman hidup tanpa kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun;
(b) Tidak seorang anak pun akan kehilangan kebebasannya secara
tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak;
(c) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diperlakukan
secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang manusia dan dengan cara yang memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan akan mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa;
(d) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai
hak untuk segera mendapatkan bantuan hukum dan bantuan- bantuan lain yang layak dan mempunyai hak untuk menantang keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut.
Ketentuan tersebut sudah diadopsi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang berarti menjadi hukum positif dengan cukup komprehensif (lihat: Sub Judul 6).
Gagalnya aparat penegak hukum membendung pemidanaan anak akan mengakhiri akses memperoleh keadilan bagi anak karena dalam hukum acara pidana kita, pengadilan tidak berwenang mendeponir sebuah perkara yang sudah dimajukan oleh Kejaksaan. Efek yang akan terjadi adalah:
a) Anak akan mengalami trauma psikososial akut. Kosa kata ”Polisi”, ”Jaksa”, ”Hakim”, ”Sidang Pengadilan” adalah teror mental yang meruntuhkan struktur mental moral anak, dan akan sulit baginya untuk membangun kembali kehidupan yang putih dan indah khas anak-anak.
b) Proses persidangan, betapa pun putusan pengadilan menyatakan bebas, atau mengembalikan kepada orang tua, atau hukuman percobaan, atau bebas bersyarat, tetapi ia telah menerima label sebagai nara pidana, orang hukuman, atau yang sejenisnya. Kata ”diadili” pun sesungguhnya sebuah kata yang sangat menakutkan bagi seorang anak, apalagi bila muara akhir dari pengadilan tersebut adalah pemenjaraan.
Pendek kata, proses pemidanaan dan pemenjaraan adalah jalan gelap bagi anak-anak, ia meruparakan proses pematian masa depan oleh Negara, sehingga bukan sebuah pilihan apa pun alasannya.

10. Perhatian Khusus Kelompok Rentan
Di antara sekian banyak anak yang berhadapan dengan hukum, terdapat anak-anak yang rentan karena beberapa sebab, katakanlah anak-anak dari kelompok minoritas, anak dari keluarga broken home, anak-anak korban penyalahgunaan narkoba, anak-anak penyandang virus HIV/AIDS, anak-anak disable, dan yang sejenisnya. Terhadap mereka, harus memperoleh perhatian lebih dengan :
a) Mendahulukan penanganan secara tepat;
b) Tidak menyinggung sisi kelemahan statusnya;
c) Menciptakan suasana gembira selama proses penanganan;
d) Tidak berlama-lama dalam proses penanganannya;
e) Memastikan bahwa setelah penangnan kondisi anak menjadi lebih baik.

11. Pendekatan Pekagender
Menyandang status anak perempuan di negeri ini adalah menyandang double minoritas secara sosial. Perempuan dalam banyak hal lebih tidak berdaya, di tengah ketidakberdayaan anak laki-laki pada umumnya. Bisa dipastikan bila ada anak-anak perempuan yang melakukan pelanggaran hukum, adalah sebagai ekspresi dari tekanan banyak pihak karena ia perempuan. Perlakuan orang tua atau masyarakat terhadap anak-anak perempuan misalnya; pemaksaan melakukan perkawinan dini, tidak ada pilihan jenis dan tempat pendidikan, keharusan mengalah kepada anak laki-laki dalam segala persoalan, penghargaan yang rendah atas prestasi yang diraihnya, dan sebagainya.
Dalam himpitan kultur yang diskriminatif dan tidak emansipatoris seperti itu, bisa dipastikan bahwa anak-anak perempuan yang melanggar hukum bukanlah sebuah pilihan hidup atau kesadaran atas komunikasi sosialnya. Ia pasti korban dari pihak yang akan mengambil kepentingan akan posisinya.
Oleh sebab itu pada posisi anak perempuan sebagai korban harus mendapatkan perlindungan lebih, sedangkan anak perempuan sebagai pelaku harus dibangkitkan harapan-harapan hidupnya. Pelecehan terhadap anak perempuan selama masa penanganan ABH adalah sebuah kejahatan serius yang pelakunya harus dihukum berat.

12. Tidak Ada Penjara Anak
Tidak ada penjara bagi anak? Apakah ini bukan sebuah otophia? Memang penjara bukan untuk anak, sebab yang dibutuhkan anak adalah pendidikan, yang dibutuhkan anak adalah bantuan, yang dibutuhkan anak adalah bimbingan. Pemenjaraan terhadap adalah pembunuhan masa depan anak karena dengan labelisasi dan stigma bahwa ia sebagai narapidana, ia akan terhukum sepanjang hidup dan menjadi catatan pada setiap meja birokrasi. Memang banyak instrument internasional membolehkan pemenjaraan, juga ketentuan standar minimal PBB untuk pemidanan anak masih menyebut-nyebut kemungkinan pemenjaraan anak dengan sejumlah persyaratan ketat, namun yang paling benar berdasarkan persepektif perlindungan anak adalah tidak ada pemenjaraan bagi anak.

7.HARAPAN KEPADA PARA HAKIM DALAM IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK
Hakim adalah salah satu pilar peradilan anak di Indonesia, dengan posisinya sebagai benteng terakhir bagi anak untuk memperoleh keadilan. Sebagai bagian dari Negara dalam mengimplementasikan perspektif perlindungan anak, kepada para hakim diharapkan bisa mengoptimalkan perannya sebagai berikut:
Pertama, sebagai penyelenggara perlindungan anak, para hakim menjadi agent dari perubahan perspektif perlindungan anak untuk ikut mempromosikan hak-hak anak pada masyarakat luas.
Kedua, para hakim di Indonesia memahami dan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan berbagai konvensi internasional tentang anak, serta Undang-Undang Perlindungan Anak dalam proses peradilan anak.
Ketiga, para hakim menjadi pelopor dalam praktek hukum untuk keadilan, bukan hukum untuk hukum semata. Keadilan harus menjadi tujuan utama dari praktek Negara hukum. Untuk mencapai tujuan ini, para hakim harus berani mempraktekkan prinsip-prinsip hukum progresif, yakni praktek hukum yang tidak terpaku para ketentuan tertulis semata, tetapi juga memainkan unsur hati nurani, lebih-lebih yang sedang menjadi mencari keadilan adalah anak.
Keempat, tidak pernah menjatuhkan hukuman penjara kepada anak, apapun alasannya, karena penjara adalah bukan tempat yang layak bagi anak. Hukuman memang dimungkinkan bagi anak yang bersalah, tetapi penjara bukan hukuman terbaik. Ia akan jauh lebih baik bila hukuman yang diterima berupa dikembalikan kepada orang tua, atau hukuman lain yang paling mungkin. Yang pasti, ia tidak dipisahkan dengan keluarganya, tempat pendidikan, komunitas dan dunianya.***

0 komentar:

Post a Comment