BAB I
LINTASAN HISTORIS LINGUISTIK PRA-STRUKTURAL
DALAM PENGAJARAN BAHASA
Linguistik pra-stuktur adalah Linguistik yang mempunyai masa akhir tahun 1930-an, yakni pada waktu mulainya linguistik struktural, dan mempunyai waktu bertolak yang dapat dikembalikan kemasa silam yang jauh, beberapa abad sebelum masehi. Tahun 1930-an dianggap masa akhir fase pra-struktural yang ditandai oleh perkembangannya penelitian unsur bentuk seiring dengan penelitian bahasa-bahasa eksotik terutama di Amerika Utara, penelitian bahasa-bahasa Indian Amerika (Amerindian).
Linguistik pra-struktural dapat dibagi oleh dua periode, yakni linguistik tradisional (tata bahasa tradisional) dan linguistik modern awal. Tata bahasa tradisional dapat ditelusuri saat mulainya jauh ke zaman aleksandria, dan waktu berakhirnya adalah tahun 1916. tahun ini dianggap berakhirnya tata bahasa trtadisional dan sekaligus merupakan permulaan linguistik modern awal karena pada saat itu faham baru muncul dari seorang tokoh linguistik modern.
A. Tata Bahasa Tradisional
Linguistik modern awal mulai pada saat munculnya paham baru Ferdinand de Saussure. Dibalik itu, terbentang ke belakang kira-kira 2000 tahun masa tata bahasa tradisional. Masa tersebut begitu panjang, dan menyangkut berbagai bahasa kuno, seperti Yunani, latin didunia barat, bahasa sangsekerta di India, bahasa Ibrani di timur tengah, dan lain-lain. Pengajaran bahasa dikaitkan dengan pembicaraan dalam buku ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa asing di Indonesia yang berasal dari barat, yakni bahasa Inggris, pengajaran bahasa Indonesia mendapat pengaruh dari bahasa Belanda yang juga berasal dari dunia barat.
Sebagai analogi dengan makhluk hidup, bahasa dibedakan antara bahasa mati dan bahasa hidup; bahasa dipertentangkan antara bahasa modern dan bahasa primitive; dan dipisahkan pula antara bahasa kuat dan bahasa lemah. Selain itu, sebagai konsekuensi logis dari pandangan tersebut, diduga bahwa jumlah bahasa pada saat sekarang lebih banyak dari waktu dahulu kala. Evolusi berlangsung dari jumlah yang sedikit kejumlah yang besar.
Pandangan tentang perubahan bahasa memperlihatkan perbedaan dengan teori evolusi yang biasa dianut dalam bidang biologi, perubahan terjadi dalam bahasa dilihat sebagai perubahan dari bentuk asli ke bentuk tidak asli. Jika orang ingin mendapat bentuk asli suatu bahasa hendaknya memperlihatkan bahasa-bahasa pengarang abad sebelumnya.
2. Pandangan Tata Bahasa Tradisional tentang Pemerian Bahasa
Aturan atau kaidah bahasa pada abad XIX kembali mendapat perhatian dalam pengajaran. Hal yang terjadi sebelumnya adalah tekanan yang diberikan pada aktivitas pekamakaian bahasa. Memang sepanjang periode, dari zaman Yunani Klasik sampai pada abad XIX bahkan sampai sekarang senantiasa terjadi saling pergantian terus menerus pemberian tekanan kepada aspek tata bahasa disatu pihak, dan aktifitas pemakaian pihak lain.
Sehubungan dengan prinsip formalitas dalam tata bahasa tradisional, dibedakan dua aliran dalam pengajaran, yakni tata bahasa semesta abad pertengahan disatu pihak dan penerangan prinsip tata bahasa semesta tersebut dalam bahasa tertentu atau tata bahasa khusus dipihak lain. Dan ternyata, prinsip seperti itu ditemukan kembali dalam karya linguist tahun 1960-an, yakni dalam karya kelompok linguist generatif- transformasional. Tata bahasa semesta (universal) menerangkan prinsip-prinsip persamaan antara semua bahasa dan tata bahasa khusus adalah penerapan prinsip-prinsip persamaan antara semua bahasa tertentu dengan perubahan seperlunya sesuai dengan daya kreatifitas dan intelegensi pemakaian bahasa yang bersangkutan.
3. Pandangan Tata Bahasa Tradisional tentang Belajar Bahasa
Belajar bahasa adalah belajar gramatika, dan belajar gramatika berarti menghafal tabel-tabel mekanisme pembentukan kata dan paradigma kombinasi kata. Hasil yang diharapkan dalam suatu proses belajar adalah kemampuan berbicara tentang bahasa bukan kemampuan berbicara dengan bantuan atau alat bahasa yang sedang dipelajari.
Selain itu, menerjemahkan dianggap metode yang paling ampuh untuk meningkatkan kemampuan terhadap bahasa yang dipelajari prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah bahasa tulis karena bahasa tulis terhindar dari degradasi; merupakan bahasa yang murni.
Aturan tertulis dipentingkan dalam belajar bahasa karena norma tertulis dianggap norma baku. Aturan tertulis ini pun harus bersumber dari tata bahasa dari periode sebelumnya.
Belajar bahasa adalah menguasai aturan bahasa dan karena itu aspek preskripti diutamakan yakni yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang tidak boleh dipakai; intruksi yang tidak boleh digunakan. Belajar bahasa adalah terbiasa menghindari bentuk-bentuk yang menyimpan dari baku. Siswa selalu dihadapkan pada hal-hal yang mematikan keberanian karena selalu ditunjuk kesalahannya. Prinsip yang terakhir ini rupanya akan kembali menduduki tempat dalam pengajaran bahasa pada masa sekarang dalam model yag disesuaikan dengan prinsip belajar yang tertentu, yakni dalam bentuk analisis kesalahan.
4. Pandangan Tata Bahasa Tradisional dalam Pengajaran Bahasa
Terdapat dua tipe tata bahasa tradisional yang jarang dibedakan dalam literatur dan biasanya dipakai sebagai titik tolak diskusi teori modern, yakni (1) tata bahasa referensi atau tata bahasa ilmiah akhir abad XIX dan permulaan abad XX. (2) tata bahasa sekolah (pedagogik) seperti yang ditulis oleh Nesfield dan Lindley Murray yang pada pokoknya merupakan penyederhanaan tata bahasa ilmiah. Kekurangan yang biasa dilihat orang dalam tata bahasa ilmiah, tetapi inti kritik ini sebenarnya adalah versi penyederhanaan yang tidak memuaskan tata bahasa ilmiah untuk keperluan sekolah.
Suatu kritik yang dianggap serius diajukan kepada tata bahasa referensi tradisional ialah sifat pemerian yang atomistic dan terpisah-pisah. Kebanyakan tata bahasa untuk pengajaran di sekolah mengalami kekurangan dalam hal model atau kerangka teori yang tidak koheren. Kerangka teori yang koheren perlu untuk memberi kebulatan terhadap hasil pemerian. Sebab, dalam menulis sebuah tata bahasa biasanya kita maju dari hal yang lebih umum kehal yang lebih sempit.
Pengajaran yang berdasarkan tata bahasa tradisional memang mendapat banyak kritikan dalam hal beberapa dasawarsa terakhir terutama dari ahli bahasa yang sedang mengembangkan teori dalam beberapa dasawarsa terakhir terutama dari ahli bahasa yang sedang mengembangkan teori yang dalam mode. Namun perlu diingat bahwa kritikan seperti itu mungkin terlalu berlebihan dan suatu usaha yang melalaikan hasil tata bahasa tradisional telah menghasilkan karya yang berguna. Buku-buku tata bahasa tradisional telah memberikan karya yang berguna. Buku-buku tata bahasa tradisional telah memberikan sejumlah istilah dan ciri-ciri pembeda yang banyak dipakai dalam belajar berkata-kata tentang bahasa kita.
B. Linguistik Modern Awal
Linguistik Modern Awal adalah suatu periode peralihan antara tata bahasa tradisional dan linguistik ”struktural” atau taksonomik atau bloomfieldian. Linguistik modern awal seperti telah terdahulu mulai sekitar tahun 1916 yakni munculnya paham baru F de Saussure dan berakhir tahun 1930-an, yakni masa berkembangnya penelitian bahasa-bahasa eksotik. Akan tetapi, terdapat pula pendapat yang melihat masa eksistensi Linguistik modern awal ini lebih rentang waktunya dengan menujuk suatu bermulanya ada tahun 1890-an, yakni setelah terlihat dengan jelas pengcabangan Linguistik Eropa disatu kepihak yang lain.
Penggunaan Linguistik modern awal tidak tertuju kepada suatu kelompok linguist yang memiliki satu jenis teori melainkan memiliki bermacam teori yang berbeda walaupun pembedaan itu tidak besar. Apa yang mereka miliki antara toko-tokoh linguistik pada periode ini hanyalah kesamaan dalam beberapa pandangan tentang hakikat bahasa, cara memerikan bahasa dan aplikasi pandangan tersebut dalam pengajaran.
1. Pandangan Linguistik Modern Awal
Oleh De Sausser, bahasa dibedakan atas langage, Langue, dan parole.Lingue adalah bahasa ayanag umumnya.alam konteks ilmu bahasa, bahasa disini sama pengertiannya dengan langage menurut de Sausser. Bahasa dalam konteks tersebut menyangkut semua Bahasa karena ilmu bahasa tidak terbatas pada penelitian satu atau beberapa meneliti karakteristik serta menunjukkan kesamaannya, sehingga generalisasi terhadapnya dapat ditarik. Lengage mengandung pengertian bahasa yang paling abstrak. Langue dan parole keduanya merujuk pengertian bahasa tertentu. Dalam konteks bahasa Indonesia kata bahasa disini mengcakup, baik languge maupun parole.
Menurut De Saussure, tuturan (bahasa secara keseluruhan) merupakan sekumpulan fakta yang aneka ragam dan kacau karena itu tidak cocok untuk penelusuran karakteristiknya yang sistematis jalan keluar yang diajukan adalah mengabstraksikan contoh-contoh parole dalam bentuk langue karena dalam instansi pertama ini tidak ada keteraturan yang dapat diamati. Bentuk langueyang memiliki keteraturan ketingkat abstraksi itulah yang diajukan sebagai pokok bahasa Linguistik.
Linguistik modern awal melihat juga bahasa sebagai sistem. Menurut De Saussure bahasa adalah :un system dont tous les termessot solidaeres” pandangan ini melihat bahasa sebagai sistem bergantung pada bahagian saling berhubungan dan nilai bahagian lain. Karakteristik nilai suatu bahasa ialah bagian-bagian berfungsi secara bersama-sama dan saling mempengaruhi satu dengan suatu bahagian yang merupakan anggota dalam sistem. Contoh, jika kita menggunakan satu kata kerja dengan petunjuk waktu tertentu dalam suatu bahasa kita menyampaikan arti tertentu. Kalau kita ucapkan hendak pergi, pernyataan ini menyatakan makna tertentu karena bentuk ini bertentangan dengan bentuk lain yang juga mengandung pernyataan waktu seperti; telah pergi atau sedang pergi.
Akhirnya, bahasa adalah tuturan (speech). Berbeda dengan pandangan para ahli bahasa tradisional (abad XX) yang mengutamakan bahasa tertulis. Para ahli bahasa periode modern awal melihat hakekat bahasa dalam bentuk lisan. Bahasa tertulis hanya merupakan penggambaran kasar yang tidak sempurna. Dari bahasa yang sebenarnya (bahasa lisan).
2. Pandangan Linguistik Modern Awal tentang Pemerian Bahasa
Sebagai lanjutan usaha pengenalan konsep tentang bahasa, perlu pula diketahui pandangan Linguistik modern awal mengenai pemerian bahasa. Pemerian bahasa adalah penggambaran satuan-satuan yang membentuk sistem bahasa atau dengan perkataan lain penggambaran fakta-fakta bahasa. Penggambaran yang dimaksud adalah yang bersifat sinkronik dan objektif. Menggambarkan bahasa dengan mengambil rujukan dengan data periode lampau seperti yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya ditentang oleh para ahli bahasa masa kini. Fakta bahasa sekarang yang harus diperkirakan dengan kebebasan menggunakan cara sendiri tanpa sikap dan ukuran normatif dan persfektif dari pemerian sebelumnya demikian pandangan ini.
Pemerian secara singkronik harus dibedakan dengan pemerian diakronik. Pemisahan antara dua jenis pemerian berasal pula dari de Saussure. Studi singkronik adalah pemerian suatu bahasa dari suatu periode tertentu, sedangkan studi diakronik membicarakan perkembangan historis sebuah bahasa dari berbagai kurung waktu.
3. Pandangan Linguistik Modern Awal tentang Belajar Bahasa
Suatu rasional yang mengutamakan bahasa lisan dalam belajar adalah sebagai berikut. Pertama, mencerminkan cara seorang anak mempelajari bahasa ibunya. Peralihan dari bentuk lisan kebentuk tulisan lebih umum belajar bahasa dari pada oeralihan dari bentuk tulis ke bentuklisan. Kedua, kebanyakan siwa terutama yang sudah dewasa memandang lebih mudah menerima dan lebih lama bertahan dalam ingatan hal-hal yang ditangkap secara lisan dibandingkan dengan hal-hal yang ditangkap melalui tulisan.
Terhadap prinsip di atas terdapat komentar yang diajukan orang. Terdapat pandangan yang mengatakan bahwa mengutamakan bahasa lisan dan menempatkan bahasa tulisan dalam prioritas kedua dapat dilakukan sekiranya pola bahasa lisan sudah terkodifikasi kaidah-kaidah secara mapan; bahasa tersebut telah memiliki pola ucapan; cara melafalkan bunyi konsonan dan vocal, baik dalam kata yang berdiri sendiri maupun dalam rangkaian kata, cara mengucapkan setiap unsur supra segmental seperti tekanan, nada dan intonasi. Pandangan lain mengatakan bahwa mengutamakan bahasa lisan diatas bahasa tulis dapat dibedakan dalam proses belajar bahasa awal, yakni jika tujuan untuk membangun penguasaan kosakata dasar dan pola-pola kalimat yang penting secepat mungkin. Tetapi, setelah siswa melewati tahap dasar maka menulis merupakan kemampuan yang sudah pada waktunya dikembangkan dan tidak dapat dibantu dengan latihan-latihan lisan yang berdasar tingkah laku bertutur. Suatu hal yang tidak mungkin kalau hanya dengan latihan-latihan lisan semata untuk memperoleh susunan kalimat kompleks yang umum dalam bahasa tulis dan harus menulis secara mangkus.
4. Pandangan Linguistik Modern Awal tentang Pengajaran Bahasa
Usaha para linguist modern awal untuk menjadikan Linguistik sebagai ilmu pengetahuan yang objektif menimbulkan pengaruh terhadap guru-guru, memaksakan guru-guru untuk berorientasi normatif. Mereka mencari norma terutama norma bahasa lisan yang dianggap ideal, contoh dalam bahasa Inggris BBC atau bahasa Inggris Oxford. Oleh karena itu, dalam pengajaran diperlukan model bahasa yang seharusnya ditiru oleh murid. Model yang diambil dapat berupa pemakaian lokal.
Penerimaan konsep bahwa bahasa merupakan sistem, atau bahwa bahasa memiliki sistematika secara ilmiah membawa pengaruh terhadap pengajaran, yakni menekankan struktur gramatika dan bukan pada kata-kata terlepas-lepas, serta mereka berusaha menata unsur-unsur struktur ke dalam urutan tertentu sesuai dengan prinsip kemudahan dan kegunaan. Sebagai konsekuensi lain, terjemahan merupakan hal yang ditentang oleh pengajaran bahasa karena ia dengan sengaja mendapatkan dua sistem bahasa dalam pikiran siswa dan karena itu membingungkan siswa; dalam sistem bahasa; terdapat keunikan selain kesamaan.
Linguistik modern awal memiliki pandangan tentang bahasa dan pemerian bahasa yang berbeda dengan tata bahasa tradisional, dan menghasilkan pandangan yang berbeda pula tentang belajar dan proses pengajaran bahasa. Belajar bahasa menurut Linguistik modern awal adalah pengembangan kebiasaan tutur yang otomatis terhadap satuan bahasa yang utuh bukan terpotong-potong. Pengajaran bahasa adalah penguasaan terhadap model bahasa lisan yang dipakai oleh sekelompok masyarakat penutur ahli bahasa. Pengajaran bahasa juga berarti penguasaan sistem bahasa yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
BAB II
ANALISIS WACANA DAN PENGAJARAN BAHASA
Analisis wacana (yang dalam literature asing, Inggris disebut discourse analysis) adalah analisis bahasa dalam penggunaan (Bown and Yule, 1983). Di sini kita dapat melihat hubungan yang tidak dapat terpisahkan antara penggunaan bahasa dan analisis wacana. Analisis wacana telah tumbuh dan sedang berusaha menjadi salah satu cabang ilmu, bahagian linguistik yang meneliti satuan bahasa yang lebih besar dari pada kalimat serta penggunaannya. Penggunaan merupakan aspek bahasa yang telah mendapat perhatian dari para ahli akhir-akhir ini yang penjelasannya oleh banyak norma dan kaidah yang berada di luar linguistik.
Selain pengertian yang menekankan penggunaan bahasa, terdapat pula pengertian yang menitik beratkan pada suatu bahasa atau yang melihatnya sebagai analisis bentuk yang tercermin dalam pernyataan berikut (terjemahan penulis): ‘’’’…. Mencoba mempelajari struktur bahasa di atas kalimat atau klausa …. Seperti – pengertian silang tutur atau teks tertulis. “(Stubbs, 1983). Pandangan yang cenderung melihat analisis wacana sebagai analisis bentuk mula-mula dianut dan diterapkan oleh Harris (1952) seorang ahli bahasa struktural yang menggunakan metode distribusi dalam analisis dan mencari pola-pola morfen yang muncul berulang yang dapat membedakan sebuah teks dari kumpulan kalimat.
Di samping istilah analisis wacana sering pula dipakai istilah studi wacana sering pula dipakai istilah studi wacana (“the Study of discourse”) yang sering diartikan lebih sempit, yakni studi tentang kalimat-kalimat yang berkaitan dan dihasilkan oleh seorang pembicara. Hal yang penting dicatat pula ialah bahwa terdapat pendapat yang mencoba mempersempit pengertian wacana ini dengan membedakannya dari teks (text) (Widdowson, 1979). Wacana menurut mereka adalah kaidah penggunaan yang memberikan bagaimana tuturan melaksanakan tingkah laku social. Teks adalah rangkaian kalimat. Selanjutnya, hubungan antara kalimat-kalimat dalam teks dimasukkan dalam aspek kohesi kalimat sedangkan hubungan tuturan dalam wacana dimasukkannya dalam koherensi wacana. Disini terlihat upaya membedakan antara kalimat di satu pihak yang tunduk di bawah kaidah pemakaian bahasa dan tuturan di pihak lain yang diatur oleh hukum penggunaan bahasa.
A. Konsep tentang Bahasa dalam Analisis Wacana
Terdapat pandangan tentang bahasa yang berasal dari atau yang menjadi dasar pegangan dalam analisis wacana yang akan dikemukakan berikut ini.
1) Bahasa selalu terjadi dalam Kontek
Penelitian yang dilakukan oleh para ahli sosiolinguistik dan psikolinguistik telah menghasilkan rincian berbagai konteks sebagai titik tolak terjadinya bahasa dan cara menerjemahkannya. Ada konteks kultural, konteks sosial dan konteks kognitif. Konteks kultural adalah sekaitan dengan kesamaan arti dan pandanga tentang dunia. Konteks sosial adalah yang berkenaan tentang identifikasi diri seseorang yang dikaitkan dengan orang yang lain yang menciptakan aturan dan cara mengerti situasi dan tingkah laku. Konteks kognitif adalah tempat mengaitkan pernyataan dan pengalaman lampau dan pengetahuan.
2) Bahasa adalah Konteks yang Sensitif
Arti sensitif yang dimaksud di sini bukan hanya berarti peka atau mudah dipengaruhi, melainkan juga berarti bahwa dapat dicabut atau diukur. Bukan saja bahasa selalu berlangsung dalam konteks, melainkan pola-polanya adalah sensitif terhadap karakteristik konteks tersebut, baik dalam hal bentuk dan fungsi maupun dalam tingkat-tingkatnya (struktur dalam dan struktur permukaan). Analisis dari berbagai sudut pandang telah mencatat hubungan yang sistematik antara bahasa dan konteks yang tersebar ke berbagai tingkat bahasa.
3) Bahasa Selalu Komunikatif
Bahasa selalu ditujukan atau diarahkan kepada seorang yang diharapkan menerima pesan, kecuali ujaran yang dikeluarkan oleh seorang yang sedang tidur/dalam keadaan mimpi atau orang yang sakit ingatan. Selanjutnya penerima pesan dapat berupa penerimaan nyata (actual) maupun penerima yang dimaksudkan (intended). Studi tentang komunikasi Linguistik manusia, komunikasi yang menggunakan jasa bahasa dilakukan oleh para ahlinya. Bukan hanya itu saja, penelitian komunikasi hewan atau binatang pun telah diminati oleh banyak orang. Para ahli yang berkecimpung dalam bidang tersebut mendekati objeknya dengan bertolak dari message model (model pesan) yang dikembangkan oleh Shannon dan Weaver (1949). Dikatakan model pesan karena komunikasi jenis ini diawali dengan pesan yang muncul dalam pikiran sipengirim pesan dan diakhiri dengan tibanya pesan pada tujuannya.
4) Bahasa dirancang untuk komunikasi
Bahasa dirancang untuk tujuan komunikasi dibuktikan oleh kenyataan bahwa berbagai cirri bahasa dirancang dan berubah dari waktu ke waktu dan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain untuk memudahkan komunikasi. Terdapat beberapa cirri bahasa yang dirancang guna kemudahan saling pengertian seperti bentuk-bentuk hiperkorek dan bentuk mubazir lainnya. Keperluan komunikasi menyebabkan timbulnya berbagai-bagai struktur kalimat : deklaratif, inferatif, interogatif. Karena itu, terdapat anggapan yang mengatakan bahwa tidak sedikit hal-hal dalam struktur bahasa yang hanya dapat dijelaskan jika dilihat perkembangannya dalam memenuhi fungsi komunikatifnya dalam interaksi langsung.
B. Analisis Wacana dan Cara Pemeriannya
Identifikasi karakteristik wacana adalah salah satu aspek pemerian bahasa dalam analisis wacana. Terdapat tiga hal yang merupakan karakteristik wacana menurut Schriffin (1987) yakni : wacana membangun struktur, menyampaikan arti, dan melaksanakan tindakan. Ketiga karakteristik tersebut mencerminkan aspek-aspek berbeda dari wacana, artinya: karakteristik tersebut tidak berlaku secara keseluruhan jika wacana dilihat dari salah satu aspek saja. Karakteristik “bentuk” dan “arti” lebih banyak berkenaan dengan wacana sebagai satuan keperluasan dari suatu yang lebih kecil. Karakteristik ketiga “melaksanakan tindakan” hubungan dengan aspek penggunaan dalam bentuk satuan perluasan melainkan juga dalam bentuk yang sederhana (sebuah tuturan).
1) Wacana Membentuk Struktur
Harris yang mula-mula mengembangkan metode Linguistik Struktural dalam wacana. Ia mengajukan pendapat bahwa structural teks terbentuk karena pola-pola kemunculan berulang dari morfem-morfem yang terlepas, baik dari artinya maupun dari factor-faktor non-tektual. Suatu wacana dapat ditetapkan kegramatikalannya (diterima orang) melalui serangkaian kaidah yang berkaitan yang bekerja sebagai kriteria formal bagi dapatnya diterjemahkan kalimat-kalimat dalam teks. Penelitian lain tentang wacana adalah yang terlalu terikat pada bentuk melainkan faktor-faktor non-tekstual. Ada juga wacana yang menggunakan pendekatan etnometodologik yakni penelitian yang berfokus bukan satuan Linguistik semata-mata melainkan juga pada penggunaan bahasa, pada kaidah tutur: cara seorang penutur mengaitkan tuturnya dengan suasana, bentuk pesan dengan latar dan aktivitas tertentu.
2) Wacana Menyampaikan Arti
Dalam uraian di atas terlihat bahwa beberapa peneliti menerapkan analisis kalimat dalam wacana; sementara itu, pendapat bahwa hanya satuan Linguistik (morfen)klausa, kalimat) saja yang merupakan unsure dasar wacana ada yang menerimanya dan ada pula yang menolaknya. Pendapat lain, bahwa teks berbeda sedemikian rupa jenisnya dengan satuan Linguistik sehingga metode yang dipakai dalam menganalisis suatu tersebut tidak bias diharapkan berguna untuk menganalisis wacana. Satuan-satuan seperti pronoum, adverbial dan kongjungsi sebagai unsure pembentuk wacana bukan karena distribusinya yang tunduk pada suatu aturan melainkan karena unsur-unsur itu menunjukkan hubungan interpreatif antara dua bahagian dalam teks.
Penelitian tentang kohesi menunjukkan bahwa arti yang disampaikan oleh teks adalah arti yang diterjemahkan oleh pembicara dan pendengar berdasar pada inferensi tentang kaitan ajuan apa yang dihadapi. Perangkap kohesif itu sendiri tidak menciptakan arti; mereka adalah kunci yang digunakan oleh pembicara.
3) Wacana Melaksanakan Tindakan
Ada beberapa cabang yang membantu orang memahami wacana sebagai sarana tindakan, yaitu :
a. Pandangan teoritis tentang fungsi bahasa. Tidak sedikit para ahli bahasa yang telah memahami persoalan fungsi bahasa. Ada yang membedakan antara fungsi referensial (biasa juga dirujuk sebagai fungsi deskriptif, refresentasi atau kognitif) dan fungsi sosial. Usaha pengelompokan fungsi bahasa ini memiliki dua kesamaan pandangan. Pandangan pertama, bahasa sebagai wahana tempat realisasi fungsi bermacam-macam. Pandangan kedua, fungsi bahasa bermacam-macam mempengaruhi strukturnya.
b. Teori tentang tindak tutur (speech act theory) banyak usaha ahli untuk memasukkan pandangan-pandangan dalam teori linguistik formal yakni bahwa bahasa digunakan untuk melakukan tindakan, menjelaskan bagaimana seseorang berkata dan bermaksud pada sesuatu tetapi bertindak untuk yang lain, dan mencari prosedur yang dapat dipakai pendengar menerjemahkan tindakan yang dilaksanakan oleh kata-kata pembicara.
c. Etnografi komunikasi. Para ahli bidang etnografi komunikasi telah memperhatikan bahwa kebudayaan berbeda jauh dalam hal maksud pembicara yang disusun secara kultural dalam pola pembicaraan, sebagai satuan tutur (tindakan, kejadian) dan dalam keadaan situasi tutur.
Dari beberapa cabang studi tersebut jelas kelihatan perbedaannya dalam hal titik perhatian yang ditekuni. Akan tetapi jika kita soroti semuanya, semua memperhatikan bahwa bahasa digunakan pembicara buat sejumlah kerja sosial yang sangat banyak. Bukan hanya digunakan untuk fungsi referensial melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial (membangun, memelihara, menyesuaikan hubungan sesama) dan fungsi ekspresif (memperlihatkan berbagai keakuan dan perasaan kebersamaan orientasi dan status).
C. Analisis Wacana dan Belajar Bahasa
Wacana mendapat dukungan penting dalam pengajaran bahasa pada akhir-akhir ini. Hal ini sejalan dengan pendekatan komunikatif, pemberian penekanan terhadap kompetensi komunikatif membawa hasil berupa kecenderungan para ahli lebih mencurahkan perhatian kepada hakekat interaksi verbal dan kaidah-kaidah wacana. Belajar bahasa pada saat sebelumnya berpusat pada belajar ciri-ciri formal bahasa dan guru-guru bahasa berusaha mengembangkan keterampilan bicara dengan mengulang-ulangkan kalimat yang benar kepada siswa.
Para ahli mencari cara baru dalam mengoreksi konsep yang dianut dalam pengajaran bahasa sebelumnya, para hali beralih dari study tentang struktur bahasa ke studi tentang interaksi sosial (social interaction), arti tuturan (the meaning of utterance), dan fungsi-fungsi tutur (the fuctions of speech).
D. Wacana dalam Pengajaran Bahasa
Terdapat tiga strategi yang menjadi tiang penegak suatu silang tutur yakni, sambung bicara (turn taking), ingsut (move), dan topic. Sambung bicara merupakan strategi yang paling besar dasar yang menggariskan bahwa tidak boleh terdapat lebih dari satu orang yang berbicara pada suatu saat, yang penting bagi pembicara berikutnya adalah mengetahui kapan pembicaraan itu berakhir dan sekaligus ia mengetahui kapan ia harus mulai. Ingsut (move) adalah satuan silang tutur yang membentuk satuan yang lebih besar, tuturan atau giliran (turn). Topik merupakan strategi yang ketiga menentukan apakah suatu silang tutur berlangsung atau berakhir. Pembicara harus senantiasa menetapkan pilihan apa yang harus dibicarakan selama silang tutur berlangsung.
Penelitian silang struktur telah dilakukan oleh beberapa ahli, baik menyangkut silang tutur sehari-hari maupun silang tutur antara guru dan murid dalam kelas. Meskipun belum dapat memberikan kejelasan dan formulasi yang sistematik dan mapan, hasil penelitian mereka telah memberikan pandangan yang berharga terhadap penggunaan wacana dalam pengajaran bahasa dan telah meletakkan landasan bagi perkembangan selanjutnya.
Perhatian orang yang diberikan kepada wacana dalam memilih materi pelajaran dan penekanan pada kemampuan diskursif dan komunikatif dalam kelas bahasa menyebabkan terjadinya pergeseran posisi guru dari peran sebagai “guru” ke peran sebagai pemimpin seminar.
BAB III
MENGENAL MORFEM
A. Morf, Morfen dan Alomorf
Urutan-urutan seperti buku, mejanya, di, dekat, men, dank an. Adalah bentuk-bentuk atau dengan kata asing morf. Bila kita mendapat tambahan badata bahasa Indonesia, seperti pembicaraan-pembicaraan di atas itu, maka banyak juga kemungkinannya kita akan mendapatkan juga bentuk-bentuk seperti men, meny, dan meng. Secara fonemis bentuk-bentuk itu sebenarnya mirip, karena sengau yang penghabisan itu disebabkan oleh perbedaan hambat yang berbeda-beda.
Bentuk-bentuk atau morf-morf ini, jika kita mendapatkan cukup data, akan terdapat pula berulang, dan karena disebut juga masing-masing morfem, sehingga dapatlah disimpulkan komposit bentuk pengertian yang terkecil yang sama atau mirip yang berulang disebut Morfem.
Bentuk atau morf itu terdiri atas sebuah fonem atau lebih baik segmen ataupun prosodi. Di dalam bahasa Indonesia terdapat urutan-urutan mengguntingi, menulisi, membacai, yang masing-masing terdiri atas menggunting + I, menulis + I, dan membaca + I. Ketiga akhiran /i/ itu mempunyai pengertian yang sama sehingga sebuah fonem bisa merupakan morf atau morfem, dan bentuk, dan bentuk /i/ di atas itu ialah sebuah morfem.
B. Prosedur Pengenalan Morfem
Sifat bahasa memungkinkan pengenalan morfem-morfem itu dilakukan dengan membanding-bandingkan bagian-bagian yang berulang, dan dengan mengadakan subtitusi. Ambillah urutan-urutan yang berikut : tergigit, termakan, terminum. Kata kenal bagian ter berulang yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu ambillah, “tak sengaja dilakukan”, dan bagian-bagian yang lain yang bisa saling disubtitusikan.
Sehingga bisa dimasukkan ke dalam rangka :
tar
Bila bagian-bagian yang lain itu disubtitusikan terdapat rangka
gigit
ter makan
minum
Didapatkan bahwa ada suatu perubahan pengertian serentak pada tiap ucapan pada tiap subtitusi itu, bila hal demikian itu terdapat bagian-bagian yang bisa disubtitusikan itu disebut di dalam kontras. Dengan cara membanding-bandingkan dan kontras-kontras demikian itu kita dapat mengenal morfem-morfem suatu bahasa.
C. Prinsip – Prinsip Pokok
Prinsip A : bentuk-bentuk yang berulang yang mempunyai pengertian yang sama, termasuk morfem yang sama. Dalam menentukan morfem-morfem yang sesuai dengan prinsip 1 itu agaknya mudah, karena segalanya jelas, yaitu bahwa persamaan bentuk-pengertian tidak menimbulkan persoalan apa-apa. Tetapi prinsip itu tidak akan menyelesaikan penemuan semua morfem bahasa. Ambillah contoh bentuk-bentuk mam, man, men dan ma, pada ucapan membaca, mendengar, menggali, merata dan melihat.
Prinsip B : bentuk-bentuk yang mirip (susunan fonem-fonemnya). Yang mempunyai pengertian yang sama, termasuk morfem yang sama, apabila perbedaan-perbedaannya dapat diterangkan secara fonologis.
Prinsip C bentuk-bentuk yang berbeda susunan fonem-fonemnya, yang tidak dapat diterangkan secara fonologis perbedaan-perbedaannya, masih bisa dianggap sebagai alomorf-alomorf daripada morfem yang sama atau mirip, asal perbedaan-perbedaan itu bisa diterangkan secara morfologis.
D. Prinsip – Prinsip Tambahan
Prinsip-prinsip ini sebenarnya hanya merupakan kesimpulan saja dari pada prinsip pokok, akan tetapi untuk memudahkan pendekatan, maka keduanyapun dinyatakan disini secara eksplisit, untuk menghindarkan penafsiran yang mungkin berbeda-beda. Sebagai akibat prinsip pokok A, bisa diambil kesimpulan yang merupakan
Prinsip D : Bentuk-bentuk yang sembunyi (homofon) merupakan :
1) Morfem-morfem yang berbeda apabila berbeda pengertiannya;
2) Morfem yang sama, apabila pengertiannya yang berhubungan (atau sama) diikuti oleh distribusi yang berlainan.
3) Morfem-morfem yang berbeda, biarpun pengertiannya berhubungan, tetapi sama distribusinya.
Sebagai contoh kondisi 1 terdapatlah di dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk seperti bisa “racun” dan bisa “dapat”, sedang “cukupan” dan sedang “lagi. Sebagai contoh kondisi 2 bolehlah disebutkan bentuk kaki di dalam bahasa Indonesia. Ambillah kaki yang berdiri di depan bentuk-bentuk kuda, amat, orang, dan lain sebagainya sebagai kaki, dan yang berdiri di depan bentuk gunung sebagai kaki gunung itu. Oleh sebab itu, karena kaki mempunyai penegrtian yang berhubungan, katakanlah “bagian bawah sesuatu”, maka kedua bentuk bisa dianggap morfem yang sama. Contoh kondisi 3 ialah di dalam kalimat “mereka berebutan kursi itu” orang tidak tahu apa maksud kursi itu, artinya, bisa yang satu maupun yang lain. Oleh karena itu bentuk-bentuk kursi itu hendaklah dianggap sebagai dua morfem yang berlainan.
Prinsip E : Suatu bentuk bisa dinyatakan sebagai morfem, apabila :
1) Berdiri sendiri
2) Merupakan perbedaan yang formil di dalam suatu deretan struktur;
3) Terdapat di dalam kombinasi-kombinasi dengan unsur lain yang terdapat berdiri sendiri atau di dalam kombinasi-kombinasi yang lain pula.
Contoh kondisi pertama yaitu tiap bentuk yang berdiri sendiri (tentulah dengan artinya sendiri) dianggap sebagai morfem. Bentuk-bentuk seperti jelas, yang pun, barang, lama. Segera kita nyatakan sebagai morfem-morfem, karena berdiri sendiri dan tidak terdapat ke dalam kombinasi dengan bentuk-bentuk lain.
Contoh kondisi kedua, kita ambil bentuk-an dalam deretan tanaman, tulisan, makanan dan sebutan. Biarpun – an itu tidak berdiri sendiri, dapatlah kita sendirikan dengan mengingat bentuk-bentuk tanam, makan, tulis dan sebut sehingga –an merupakan perbedaan yang formil dari pada bentuk tanam dan tanaman, makan dan makanan, tulis dan tulisan, serta sebut dan sebutan, dengan pengertian yang sama (konstan).
Contoh kondisi ketiga, kita mabil bentuk-bentuk dalam bahasa inggris conceive, receive, reducedan pertain. Secara mudah dapatlah dinyatakan bentuk-bentuk di atas itu dalam kolom-kolom berikut :
Con ceive
Re diuce
Per/ tain
Pro
Sehingga dengan demikian terdapatlah morfem-morfem {con}, {re}, {per/pro}, {ceive}, {duce}, {tain}.
Sebagai prinsip tambahan yang terakhir disebutkan di sini :
Prinsip F : a. Jika suatu bentuk terdapat di dalam kombinasi satu-satunya dengan bentuk lain, yang pada gilirannya terdapat berdiri sendiri atau di dalam kombinasi dengan bentuk-bentuk lain, bentuk di atas itu dianggap morfem juga.
b. Jika di dalam suatu deretan struktur terdapat perbedaan yang tidak merupakan bentuk, melainkan suatu kekosongan, maka kekosongan itu dianggap sebagai :
1) Morfem tersendiri, apabila deretan struktur itu berurusan dengan morfem-morfem.
2) Alomorf dari suatu morfem, apabila deretan struktur itu berurusan dengan alomorf-alomorf suatu morfem.
Contoh F, a ialah bentuk renta, yang tidak pernah berdiri sendiri atau di dalam kombinasi dengan bentuk-bentuk lain kecuali bentuk tua. Dengan kata lain, renta selalu didahului oleh bentuk tua, sehingga merupakan kombinasi tua-renta ‘tua sekali’, karena distribusi tua renta itu satu-satunya bagi bentuk tenta itu, biasanya morfem semacam itu disebut morfem unik.
E. Ujud Morfem
Di dalam membicarakan ujud morfem orang sengaja diselewengkan oleh kebiasaannya di dalam mempergunakan tulisan, yang terdiri atas huruf-huruf yang menyatakan bunyi-bunyi, sedangkan tanda-tanda lain kurang atau hamper tidak diperhatikannya. Oleh karena itu, orang segera menyatakan bahwa ujud morfem hanyalah satu, yaitu terdiri atas unsure-unsur yang diwakili oleh huruf-huruf, yaitu tidak lain ialah fonem-fonem.
Wujud morfem-morfem yang hanya terdiri atas fonem-fonem bukanlah suatu hal yang sewajarnya. Mungkin bagi kebanyakan bahasa-bahasa adalah demikian, tetapi bagi bahasa-bahasa tertentu hal ini sukar dipahami, karena fonem-fonem atau urutan-urutan fonem saja belum sepenuhnya mengandung pengertian yang jelas.
Morfem-morfem bisa pula terdiri atas fonem-fonem segmen dan fonem nada, seperti di dalam bahasa Cina, bentuk/isi/belum bisa diberikan arti jika belum bisa diketahui nadanya. Bentuk itu dengan nada datar berarti “hilang”, dengan nada naik berarti “sepuluh”, dengan nada turun naik berarti ‘sejarah’ dan dengan nada turun berarti ‘pasar’. Jelaslah bahwa, morfem-morfem bisa berujud gabungan antara fonem-fonem segmen dan fonem-fonem prosodi.
Morfem-morfem yang terdiri atas fonem-fonem prosodi tidak banyak terdapat, dan bila terdapat tentulah selalu bersama-sama fonem-fonem segmen. Di dalam hal ini, bila ada urutan fonem-fonem segmen bersama-sama dengan fonem (-fonem) prosodi, pengertiannya tentulah rangkap, yaitu fonem-fonem segmen menyatakan konsep yang satu, sedangkan fonem (-fonem) prosodi menyatakan konsep yang lain lagi.
Ujud yang terakhir adalah ujud morfem yang tanujud, yaitu apabila hanya bermanifestasikan kosong. ‘ujud’ atau lebih tepat tanujud ini hanya mungkin secara teoritis analisis saja. Perlu diingat bahwa ahli bahasa tidak bisa secara mana suka menciptakan morfem-morfem tanujud atau kosong. Mestilah ada tekanan struktur kebasaan. Maka ia disahihkan oleh analogi itu untuk mengadakan morfem-morfem kosong atau tanujud itu, sebab apabila morfem-morfem kosong boleh diciptakan semua ahli bahasa saja, sebuah bahasa dengan morfem-morfem kosong belaka.
F. Jenis – Jenis
Jenis-jenis morfem bisa ditentukan oleh dua macam criteria, yaitu kriterium hubungan dan kriterium distribusi. Yang pertama dapat dibagi lagi menjadi dua yakni yang ditentukan oleh hubungan struktur dan hubungan posisi, sedangkan yang kedua hanya berupa dua macam, biarpun macam-macam ini bisa diberi lagi penggolongan-penggolongan lain.
1. Secara Hubungan
Menilik hubungan struktur morfem-morfem dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu morfem-morfem yang bersifat tambahan (aditif), yang bersifat penggantian (replasif), dan yang bersifat pengurangan (substraktif). Yang pertama sebenarnya morfem-morfem biasa pada umumnya terdapat pada semua bahasa, seperti urutan-urutan /rumah/, /ayah/, /na/, /besar/. Unsur-unsur morfem ini tidak lain ialah penambahan yang satu dengan yang lain.
Morfem-morfem yang bersifat penggantian terdapat, umpamanya pada bahasa inggris. Untuk menyatakan jamak, umpamanya, banyak alomorf-alomorf yang terdiri atas bentuk-bentuk ini. Bentuk-bentuk /piyt/, /mays/, /men/ dan lain sebagainya yang merupakan dua morfem sebenarnya, yaitu /f…t/ dan /iy <..u/, /m…s/ dan ay<-aw/, serta /m…n/ dan E Morfem-morfem yang bersifat pengurangan terdapat, umpamanya, pada bahasa Perancis. Dalam bahasa ini ada sederetan bentuk-bentuk ajektif yang dikenakan. Pada bentuk-bentuk yang bersifat betina, dan sederetan bentuk-bentuk ajektif yang sama yang dikenakan pada bentuk-bentuk yang bersifat jantan secara ketatabahasaan.
Menilik hubungan posisi terdapat juga tiga jenis morfem, yaitu yang bersifat urutan, yang bersifat sisipan, dan bersifat simultan. Ketiga jenis ini dengan mudah diketahui apabila diterangkan dengan memakai morfem-morfem imbuhan dan morfem-morfem yang lain.
Contoh morfem yang bersifat urutan adalah ambillah urutan morfem-morfem /mam/ + /baca/ + /kan/. Ketiga morfem itu bersifat urutan yaitu yang satu terdapat sesudah yang lain.
Contoh morfem yang bersifat sisipan adalah seperti /in/ di dalam bahasa jawa. Adri morfem /tuku/ ‘membeli’, kata /tinuku/ ‘terbeli’/dibeli’ bisa diuraikan bahwa yang akhir itu terdiri atas /t…uku/ dan sisipan / in/ yang terdapat sesudah konsonan pertama dari dasar /tuku/ itu.
Contoh morfem yang bersifat simultan (atau juga disebut morfem tak langsung) terdapat pada bentuk-bentuk seperti /kehujanan/, /kemalaman/ yang terdiri atas dasar-dasar /hujan/, /malam/, dan morfem simultan /ke…an/ sebagai keterangan bahwa /ke…an/ itu memang morfem simultan, dapatlah diberikan bahwa tak ada bentuk-bentuk atau kata-kata */kehujan/, */kemalam/ atau kata-kata */hujanan/, */malaman/.
2. Secara distribusi
Jenis-jenis morfem yang ditentukan oleh distribusinya ada dua, yaitu morfem-morfem bebas dan mirfem-morfem terikat. Morfem-morfem bebas adalah morfem-morfem yang dapat diucapkan sendiri, seperti kursi, dinding, atas. Morfem-morfem terikat adalah morfem-morfem yang tak pernah di dalam bahasa yang wajar diucapkan tersendiri morfem-morfem ini umpamanya ter-, -I, -an.
Di samping ini ada juga bentuk-bentuk seperti -juang, -tawa, -gurau, yang tak pernah juga diucapkan sendiri melainkan selalu dengan salah satu imbuhan atau lebih. Tetapi sebagai morfem terikat, yang berbeda dengan imbuhan, bisa mengadakan bentukan atau konstruksi dengan morfem-morfem terikat yang lain.
BAB IV
MENGANALISIS KALIMAT
Bagian sebuah konstruksi, baik kalimat atau frasa, yang bersama bagian lain membentuk kinstruksi itu kita sebut pemadu, frasa-frasa pertempuran itu
BAB V
ILMU BUNYI
A. Ilmu Bunyi dan Gunanya
Penyelidik bahasa yang ingin diperoleh hasil yang sebaik-baiknya, yang perlu mengetahui ilmu bunyi dan pemakaiannya. Tanpa menguasai ilmu bunyi ia akan kandas pada hasil yang tak sempurna dan tak memuaskan, karena bahasa pertama-tama bersifat bunyi. Begitu pula bagi orang yang ingin mempelajari bahasa kedua dengan cara teknik penyelidikan bahasa, pengetahuan ilmu bunyi (fonetik), dan penggunaannya merupakan condition sine qua non. Kedua macam orang di atas itu sebelum dapat meletakkan dasar-dasar lebih dahulu, dan orang yang kedua di samping itu harus dapat mengucapkan bunyi-bunyi itu, biarpun yang pertama tidak ada salahnya untuk menguasainya juga.
Fonetik adalah bidang studi tentang bunyi-bunyi ujar. Sebagai ilmu, fonetik berusaha menemukan kebenaran-kebenaran umum dan memformulasikan hukum-hukum tentang bunyi-bunyi dasar daripada fonetik ilmiah untuk memberikan kemungkinan pengenalan dan produksi (pengucapan) bunyi-bunyi ujar itu.
1. Ilmu Bunyi Umum
Untuk menguraikan dan menguasai bunyi-bunyi tiap bahasa hanya diperlukan sebagian saja dari bunyi-bunyi bahasa di dunia yang tak terbilang macamnya itu. Ilmu bunyi umum memberikan pengetahuan dan kemahiran untuk mengenal dan menghasilkan secara umum berbagai macam bunyi bahasa dari dunia ini. Dalam menganalisi bunyi-bunyi bahasa Indonesia, kita tidak memerlukan pengetahuan tentang bunyi th, yang umpamanya, terdapat dalam bahasa Inggris; jika obyek kita bahasa Jerman, pengetahuan tentang bunyi/yang terdapat di dalam bahasa arab tidak ada gunanya; demikian pula segala sesuatu mengenal bunyi 3 dalam bahasa Ceko tidak kita perlukan dalam analisis kita tentang bunyi-bunyi bahasa Jawa. Tiap bahasa hanya mempergunakan sebagian kecil saja dari seluruh kemungkinan, dan tidak ada dua bahasa yang memakai bunyi-bunyi yang sama benar.
1.1. Cara Mempelajari Bunyi-Bunyi Ujar
Secara fonetis, bahasa yang dapat dianggap merupakan kontinum bunyi, dapat dipelajari secara teoritis dengan tiga macam jalan, yaitu : pertama bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan oleh alat-alat ucap; kedua, bagaimana arus bunyi yang telah keluar dari rongga mulut dan/atau rongga hidung sipembicara merupakan gelombang-gelombang bunyi udara; ketiga, bagaimana bunyi itu diinderakan melalui alat pendengaran dan syaraf sipendengar. Cara pertama itu disebut fisiologis atau artikuler, yang kedua disebut akustis dan yang ketiga impresif atau auditoris (menurut pendengaran).
Ketiga cara yang disebutkan di atas hanya terbatas kepada pemberian kesan tentang “enak” atau “tidak enaknya” bunyi itu didengar saja, sehingga hanya merupakan teori belaka dan tidak pernah diadakan penyelidikan. Cara yang kedua adalah yang paling eksak, sebab didasarkan kepada pendapatan-pendapatan ilmu fisika dan matematika. Tetapi cara ini tidak praktis dan tiap ahli tidak mempunyai waktu untuk mempelajari fisika dan matematika. Cara pertama memang mudah, praktis dan dapat diberikan bukti-bukti datanya sehingga setiap orang dapat menerapkannya.
1.2. Pembentukan Bunyi-Bunyi Ujar
Semua alat ucap manusia dapat dibandingkan dengan alat music tiup seperti seruling; bunyi-bunyi dihasilkan dengan menghembuskan udara yang dihambat, dihalangi atau lain-lainnya yang dalam peralatan manusia udara itu dihasilkan dengan merintangi kebebasan jalannya arus udara melalui aluran yang terkurung. Di dalam peralatan manusia udara itu dihasilkan oleh paru-paru yang diatur oleh gerakan-gerakan teratur daripada sekat rongga dada. Ada bunyi-bunyi tertentu yang dihasilkan dengan arus bahwa terhirup ke paru-paru dari luar.
Untuk memudahkan pengertian, artikulasi itu kami bagi menjadi dua bagian yang pokok yaitu :
1) Apabila secara relatif tidak ada hambatan/rintangan antara paru-paru dan udara keluar. Artikulasi demikian itu akan menghasilkan banyak VOKOID.
2) Apabila terdapat hambatan/rintangan antara paru-paru dan udara luar. Artikulasi demikian itu akan menghasilkan bunyi-bunyi KONTOID.
Yang kedua ini kami bagi lagi menjadi lima macam artikulasi, yaitu :
1) Apabila terdapat hambatan menyeluruh pada salah satu tempat antara paru-paru dan udara luar, sehingga jalan arus udara tertutup. Bunyi-bunyi yang dibentuk secara demikian kami sebutkan HAMBAT.
2) Jalan arus udara di mulut memungkinkan pada (a), tetapi dengan membuka jalan rongga ke hidung. Artikulasi semacam ini akan menghasilkan bunyi-bunyi yang kami sebut NASAL.
3) Jalan arus udara mungkin dihalangi pada salah satu tempat, sehingga hanya merupakan sebuah lubang kecil yang berbentuk sebagai lembah panjang atau sebagai celah, yang dilalui oleh udara sebagai lembah panjang atau sebagai celah, yang dilalui oleh udara itu. Bunyi-bunyi yang dihasilkan secara demikian kami sebut SPIRAN.
4) Garis tentang jalan di mulut mungkin terhambat, tetapi sebuah lubang mungkin tinggal sepanjang sebelah atau kedua belah sisi yang dilalui arus udara. Bunyi-bunyi yang dihasilkan semacam itu kami sebut LATERAL.
5) Arus udara yang lalu itu mungkin menyebabkan sebuah alat yang elastic bergetar dengan cepat. Bunyi yang dihasilkan semacam itu kami sebut GETAR.
1.3. Alat – Alat Ucap
Secara sederhana, alat-alat ucap itu dibagi menjadi dua macam: ARTI-KALKULATOR-ARTIKULATOR, yaitu alat-alat yang dapat digerakkan lebih kurang dengan bebas dan dengan demikian dapat dibuat menempati posisi yang berbagai macam; TITI-TITIK ARTIKULASI, yaitu titik atau daerah yang tertentu terletak di atas articulator-artikulator, yang dapat disentuh untuk didekati. Ujung lidah itu merupakan articulator. Karena dapat digerakkan ke atas atau ke bawah, ke depan atau ke belakang, dan karena gerakan-gerakan itu perlu sekali untuk menghasilkan banyak bunyi; gigi dengan atas merupakan titik artikulasi, karena ujung lidah dapat menyentuh dan mendekatinya.
1) Bibir Bawah, mungkin membentuk penghambatan sama sekali daripada jalan di mulut dengan ditekankan keras-keras atau pelan-pelan kepada bibir atas, sebagi pembentukan bunyi p di dalam kata pipi. Bibir bawah itu mungkin mendekati bibir atas dan membentuk lubang yang berbentuk lekah sempit. Bunyi-bunyi yang terbentuk oleh bibir bawah disebut LABIAL. Jika bibir bawah menyentuh bibir atas, bunyi-bunyi itu disebut BILABIAL \, dan bila bibir bawah menyentuh gigi atas, bunyi itu disebut LABIO dalam bagian pembentukan bunyi-bunyi ujar, dapat dikatakan bahwa p dan b adalah HAMBAT BILABIAL, f dan v adalah SPIRAN LABIODENTAL, bunyi u sebagai VOKOID dengan modifikasi LABIAL.
2) Lidah sangat mudah digerakkan, sehingga berbagai bagiannya bergerak hamper-hampir sendiri-sendiri, umpamanya sementara bagian belakang lidah itu dapat digerakkan ke atas dank e bawah, ujungnya dapat dilengkungkan ke atas atau diselunjurkan ke depan. Karena itu perlu benar untu membagi lidah menjadi tiga articulator yang tersendiri. UJUNG LIDAH, atau disebut juga APEX ialah salah satu artikulator yang lebih lentur. Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah disebut apikal.
3) Bagian yang lebar daripada lidah dibagi menjadi dua. Bagian yang terletak di belakang ujung lidah dan memanjang kira-kira empat sentimeter di belakang dau disebut BAGIAN DEPAN. Konsonan-konsonan yang dihasilkan dengan bagian depan lidah disebut FRONTAL, atau lebih biasa dengan kata PALATAL (yang disebut menurut langit-langit keras). Titik-titik artikulasi yang berbeda-beda dinyatakan oelh istilah-istilah PREPALATAL, MEDIPALATAL dan POSTPALATAL, yang menunjukkan bahwa bagian depan lidah itu menyentuh atau mendekati masing-masing bagian depan, tengah atau belakang langit-langit keras. Salah satu dari fungsi-fungsi yang penting daripada bagian depan lidah itu ialah untuk mengubah bentuk rongga mulut di dalam pembentukan vokoid
4) Bagian belakang atau DORSUM daripada lidah memanjang dari tempat kira-kira empat sentimeter dari apex sampai sebagian belakang mulut. Bagian atas mulut yang terletak di atas dorsum bila mulut tertutup ialah LANGIN-LANGIT LUNAK atau VELUM, bagian ini ialah otot tak bertulang yang lengkung, yang dapat bergerak sendiri ke atas dank e bawah. ANAK TEKAK ialah bagian kecil yang berjuntai dari tepi bagian belakang velum. Konsonan-konsonan yang dibentuk dengan dorsum disebut DORSAL, atau lebih umum VELAR. Titik-titik artikulasi yang berbeda disebutkan dengan istilah-istilah PREVERAL, MEDIOVELAR, POSTVELAR (atau UVULAR). Bunyi-bunyi yang dihasilkan di dalam farinx disebut FARINGAL.
5) Semua udara yang dikeluarkan dari paru-paru atau dhirup ke dalamnya harus melalui LARINX. Tepi dari Larynx itu adalah pangkal tenggorokan. Untuk keperluan kita bagian-bagian yang paling menarik dari pada Larynx ialah dua selaput parallel yang melintang dari depan ke belakang, yaitu SELAPUT-SELAPUT SUARA. Selama pernapasan biasa, selaput-selaput itu tertarik berpisah, sehingga arus udara dapat lalu ke luar dan masuk di antaranya tanpa hambatan. Ruang antara selaput-selaput suara itu disebut GLOTIS; bagian pernapasan biasa, karena itu, kita katakana bahwa Glotis itu terbukan.
1.4. Klasifikasi Bunyi-bunyi Bahasa
Macam-macam artikulasi di dalam bagian pembentukan bunyi bunyi ujar memberikan kriterium bagi penggolongan semua bunyi menjadi dua golongan yang besar yaitu Vokoid dan Kontoid. VOKOID ialah bunyi yang bagi pengucapannya jalan mulut tidak terhalang, hingga arus udara dapat mengalir dari paru-paru kkke bibir dan keluar tanpa dihambat, tanpa harus melalui lubang sempit, tanpa dipindahkan dari garis tengah pada alurnya dan tanpa menyebabkan alat-alat supra glottal sebuah pun bergetar; biasanya bersuara, tetapi tidak perlu selalu demikian. KONTOID, ialah bunyi yang bagi pengucapannya arus udara dihambat sama sekali oleh penutupan larynx atau jalan di mulut, atau dipaksa melalui lubang sempit atau dipindahkan dari garis tengah dari pada alurnya melalui lubang lateral atau menyebabkan bergetarnya salah satu alat-alat supra glottal. Dalam bagian ini kita berurusan dengan ilmu bunyi, dan ucapan sebuah kata mungkin sekali tidak sama benar dengan ucapan/lain dari pada kata yang sama di dalam sebuah dialek, ya bahkan oleh seorang pembicara yang sama pula. Dengan kata lain, ilmu bunyi mencatat ucapan masing-masing sehingga beberapa ucapan daripada kata yang sama, mungkin sekali akan berbeda.
B. Penggolongan Vokoid
Penggolongan vokoid-vokoid ditentukan oleh tiga macam kriteria yang menyangkut lidah sebagai artikulator, rahang bawah yang menentukan posisi lidah, dan posisi bibir sebagi ko articulator. Kriterium yang pertama itu biasanya ditentukan oleh bagian lidah yang mana melakukan kegiatan; kriterium kedua biasanya merupakan pernan rahan bawah dan hanya menyebut posisi lidah semata; kriterium ketiga menyebutkan dua macam posisi bibir, yaitu apakah lubang antara bibir atas dan bawah berbentuk pulat, ataukah tertarik kedua belah sisi dan merupakan sebuah lekah yang panjang.
Berikut pembagian vokoid yaitu Vokoid-vokoid depan dihasilkan dengan mengangkat bagian depan lidah dalam berbagai tingkatan mendekati langit-langit keras. Vokoid seperti yang terdapat dalam kata apa diucapkan dengan menjulurkan lidah sedikit ke depan, sementara itu membiarkan seluruh bagian lidah serendah-rendahnya di dalam mulut; vokoid ini kami sebut Vokoid Depan Bawah, dan kami tandai dengan [a]. untuk pengucapan vokoid di dalam kata nenek bagian depan lidah menjulur ke depan dan diangkat kira-kira sepertiga dari jarak langit-langit keras. Vokoid depan tengah bawah ditandai dengan tanda [E]. sedangkan vokoid depan tengah atas ditandai dengan [e]. akhirnya, bagi vokoid di dalam kata ini bagian depat dijulurkan dan diangkat setinggi mungkin ke langit-langit keras bagian depan, hamper-hampir membentuk semacam lubang yang akan menghasilkan spiran, ini adalah Vokoid Depan Atas dan ditandai dengan [i].
Vokoid-vokoid belakang digolongkan secara demikian pula, yaitu dengan tingkatan beberapa dorsum itu mendekati langit-langit lunak. Karena kebanyakan vokoid di belakang di dalam bahasa-bahasa yang lebih dikenal diuapkan dengan pembulatan bibir atau juga PELABIALAN.
Sunday, March 6, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment