Wajah Pendidikan Nasional
Wajah pendidikan telah banyak berubah, hal ini terlihat dari berganti-gantinya aparat birokrat, berganti nama, berganti sistem kurikulum bahkan orde pemerintahan. Namun, persoalan klasik yang menyelimuti pendidikan masih saja terlihat. Persoalan klasik yang dimaksud antara lain masalah kualitas pendidikan kita, daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan, karakter/ budi pekerti peserta didik, persoalan anggaran pendidikan, minat dan daya serap peserta didik dan lain-lain. Sudah tiga kali terjadi perubahan Undang-Undang tentang sistem pendidikan, tujuh kali perubahan kurikulum, dan tiga kali perubahan dalam sistem penentuan kelulusan (ujian akhir) tampaknya tidak berpengaruh pada model pembelajaran dan suasana kependidikan yang memungkinkan sekolah sebagai pusat pembudayaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Soedijarto, 2008:55). Secara umum dunia pendidikan menghadapi kondisi/ fenomena yaitu: (1) Latar belakang makro (Sistem Pendidikan); (2) Latar belakang mikro (Kondisi Empiris).
1. Latar Belakang Makro
Secara makro (sistem pendidikan) soal kualitas sistem pendidikan di Indonesia terbilang buruk (Ibrahim Solthan, 2006:17) hal ini didasari dari berbagai macam literatur dan penelitian antara lain :
a. International Education Achievement (IAE) menyebutkan bahwa kemampuan membaca peserta didik Sekolah Dasar di Indonesia menempati urutan ke-30 dari 38 negara. (Dikorda Gowa, 2011)
b. The Third International Mathematics and Science Study Repeat bahwa kemampuan peserta didik bidang matematika dan IPA berurutan, Indonesia menempati urutan ke-34 dan ke-32 dari 38 negara. (Dikorda Gowa, 2011)
c. Human Development Index, tahun 2005 dan 2006 berurutan Indonesia menempati urutan 110 dari 173, dan 112 dari 175 negara. (Dikorda Gowa, 2011)
d. Hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, jauh dibandingkan negera tetangga Singapura (24), malaysia (61), Thailand (76) dan Philipina (77) (MPI dalam Sulthan, 2006:17)
2. Latar Belakang Mikro (Kondisi Empiris/Sarana dan
SDM)
Secara formal ternyata mutu guru kita amat rendah (Ibrahim Sulthan, 2006:16). Jika kita mau membandingkan dengan negara lain maka kondisi guru-guru kita sangat memprihatinkan, banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas guru, mulai dari sistem perekrutan oleh lembaga pencetak tenaga kependidikan (LPTK) yang hanya mengejar kuantitas terlihat dari banyaknya kelas-kelas jauh yang tidak memenuhi standar serta memiliki kualitas yang rendah, sistem pembinaan guru dan lain-lain. Dari segi akademis hanya sedikit guru SD, SLTP, SMU dan SMK yang memiliki persyaratan akademis untuk mengajar peserta didik di depan kelas. Data dari Balitbang Depdiknas tahun 2001 menyatakan dari 1.054.859 guru SD negeri ternyata hanya 446.827 atau 24,4% yang layak mengajar. (Ibrahim Solthan, 2006:16). Belum lagi kalau kita melihat sistem penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di dalam ruang-ruang kelas yang terlihat sekedar menggugurkan kewajiban, hal ini senada dengan hasil semiloka Dikorda Kabupaten Gowa (2011) bahwa pelayanan pendidikan kita masih berorientasi pada filosofi pedagogy of the oppresed yang memaksakan, menekan, bahkan menindas. (Dikorda Gowa, 2011). Dalam lingkup Propinsi Sulawesi Selatan masih terdapat sekitar 30% atau 24.000 dari 80.000 orang guru yang tidak layak mengajar. (Fajar, 2 Agustus 2006).
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(QS. Az Zumar: 9)
Masih banyak lagi fakta-fakta yang semuanya mengarah pada persoalan pendidikan kita. Namun, semuanya belum terlambat. Persoalan-persoalan pendidikan yang tengah kita hadapi harus kita selesaikan dengan sebuah upaya nyata dimulai dari ruang-ruang kelas. Upaya tersebut membutuhkan keseriusan guru sebagai ujung tombak untuk mampu mengubah paradigma belajar dan menemukan cara terbaik untuk menyajikan mata pelajaran, sehingga peserta didik dapat menuntaskan semua kompetensi yang telah dirumuskan oleh ahli-ahli kurikulum kita. Upaya tersebut harus dimulai dengan pemahaman tentang bagaimana menciptakan sebuah sistem pelayanan pendidikan yang dapat mengoptimalkan semua komponen pembelajaran mulai dari guru dengan peningkatan kompetensi, peserta didik, metode belajar, media, sarana dan prasarana, sumber belajar, hasil belajar peserta didik, dan sistem manajemen sekolah yang efektif sehingga terbentuk sistem pembelajaran kelas tuntas berkelanjutan.
0 komentar:
Post a Comment