Kepribadian Konselor
Kepribadian konselor sangat menentukan hubungan yang terjadi di dalam konseling pastoral. Kata kunci yang perlu dibangun melalui kepribadian konselor ialah menjadi kepercayaan dari konseli agar konseli merasa penting membukakan hal-hal yang ia rasakan sangat berharga dalam permasalahannya atau beban-bebannya.
Konselor dalam pendampingan pastoral adalah menolong konseli atau fungsi "sustaining" seperti yang terdapat pada kesimpulan Yehezkiel 34:16 dalam rangka pertanggungjawaban terhadap Allah berdasarkan kasih Allah yang menyelamatkan.
Kasih adalah hukum Kristus dan kita diminta untuk saling menolong (bndk. dengan Galatia 6:2). Dalam kaitan konseling, H. Norman Wright dalam Konseling Krisis menyebutkan bahwa menolong berarti membantu si konseli melakukan sesuatu untuk perbaikan keadaannya. Menolong berarti menyokong atau meningkatkan pertumbuhan seseorang dalam kekudusan, kebajikan, kasih karunia dan hikmat Kristiani. Pribadi yang menolong adalah ungkapan belas kasihan Yesus kepada orang yang telantar, sakit, terpenjara dan semua orang yang terampas sukacitanya di jalan-jalan Yerikho modern. Semua Injil memperlihatkan perhatian dan kasih Tuhan Yesus kepada manusia.
Seorang gembala dalam tugas pastoralnya merasakan panggilan Allah terhadap dirinya yang mau memakai sejarah hidupnya sendiri dalam praktik pastoral dan hal tersebut dilakukannya sebagai arena pertanggungjawaban kepada Allah. Dalam praktik pastoral, seorang gembala atau konselor harus tetap menyadari kelemahan dan keterbatasannya, sehingga ia tetap menjadi rendah hati dan sabar dalam mendengarkan dan menghargai konseli seperti apa adanya demi pertumbuhan dan kebaikan konseli.
Sukses tidaknya dalam praktik konseling pastoral sangat tergantung pada kepribadian konselor. Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh seorang konselor, yaitu:
1. Memiliki kepribadian yang kuat.
Tanda kepribadian yang tidak sehat, misalnya dalam hidup setiap hari sering dijumpai hal yang aneh-aneh, antara lain bila bertemu dengan seseorang terus merasa benci atau sebaliknya terus merasa simpati. Juga dasar pengalaman yang aneh-aneh, misalnya sewaktu dia dulu anak-anak pernah dipukul oleh orang yang tampangnya kurus, tinggi, dan berkumis. Pengalaman ini terpendam. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang kurus, tinggi, dan berkumis, dia terus terpancing. Ini semua tanda kepribadian yang tidak sehat. Seorang konselor harus mampu mengontrol gejala seperti ini di dalam dirinya sendiri.
2. Bersikap menerima seseorang sebagaimana adanya.
Menerima seseorang sebagaimana adanya (as he/she as) adalah penting sekali. Apabila konseli datang (masuk) dengan celana pendek, misalnya, atau memaki-maki, atau tersenyum, jangan terus terpengaruh oleh kemampuan konseli.
Menerima seseorang sebagaimana adanya adalah ciri pendekatan Yesus (bndk. Yohanes 3; Yohanes 4; Lukas 19). Sewaktu Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, Ia menerima perempuan itu apa adanya, tanpa menghakiminya. Ia menerima perempuan yang didapati berzinah; Ia juga menerima Zakheus, seorang pemungut cukai yang tidak jujur itu.
Yesus berbelaskasihan terhadap orang lain. Belas kasih Yesus merupakan gambaran pendekatan-Nya perlu menjadi jiwa pelayanan konseling pastoral (bndk. Markus 8:2; 6:34).
3. Empati (Emphaty).
Seorang konselor harus menanamkan perasaan empati di dalam dirinya. Empati ialah mampu merasakan problem seseorang seperti orang itu merasakannya (bndk. Karo: kepate), namun konselor tidak bisa hanyut dalam perasaan konseli.
Gembala sebagai konselor memasuki atau merasakan bagaimana perasaan konseli.
4. Jaminan Emosional.
Seorang konselor harus mempunyai jaminan emosional (emotional security). Apabila konseli menangis, misalnya, konselor tidak usah ikut menangis. Apabila konseli tertawa, konselor tidak perlu ikut tertawa. Seandainya konseli mengharapkannya, cukuplah tersenyum saja. Tujuan kita berbuat demikian agar kita (konselor) berfungsi sebagai cermin bagi konseli, agar dia melihat dirinya sendiri melalui sikap kita (konselor).
5. Menghindari nasihat-nasihat.
Memberikan nasihat-nasihat adalah pekerjaan yang paling mudah, akan tetapi yang paling sulit adalah menolong. Konselor harus menahan diri untuk tidak memberikan atau menjejali nasihat-nasihat, kecuali di akhir pertemuan. Ini pun hanya bila perlu. Menasihati sering disebut directive counseling. Menasihati berarti konselor yang terus berbicara. Cara ini tidak baik. Keadaan konseli jangan kita tinjau dari sudut moral dan lantas kita memarahinya (misalnya, bagaimana konseli telah mencuri uang ibunya, dan lain-lain). Jangan memberikan penilaian moral (moral evaluation) dalam konseling agar yang bersangkutan tidak takut. Jangan terlalu cepat meminta berdoa atau membaca Alkitab. Ini semua akan menutupi masalah-masalah yang telah lama disimpannya.
6. Ilmu jiwa-dalam atau psikologi dan psikoterapi.
Konselor seharusnya telah mendapatkan latihan-latihan konseling dan memahami ilmu jiwa-dalam, antara lain: Freud, Jung, Adler, dan lain- lain. Penyakit gangguan jiwa ditentukan oleh ada atau tidaknya rasa rendah diri yang tidak wajar (MC) sebagai hasil persaingan ketika dia kalah. Belajarlah tentang psikoterapi, dan sebaiknya seorang konselor pernah dikonseling (dianalisis).
Siapakah yang kita terima dalam konseling? Semua orang, kecuali orang gila (Schizophrenia). Kita bisa menolong orang yang neurosis; tetapi apabila dalam keadaan parah, orang tersebut perlu kita bawa ke psikiater.
Apa batas jiwa yang sehat dengan yang tidak sehat? Ada dua jenis penyakit jiwa (mental illness) atau mental disorder, yaitu:
a. Neurosa (Neurosis);
b. Psikhosa (Psychosis, gila).
Penderita neurosa pada umumnya masih bisa bekerja mencari makan, tetapi ia sering terganggu oleh suatu gejala kejiwaan yang tidak bisa dikontrol sendiri karena dia (konseli) tidak mengetahui apa penyebabnya dan sejak kapan gejala itu menimpa dirinya.
KOMPETENSI DASAR KONSELOR DAN PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR
KOMPETENSI DASAR KONSELOR DAN PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR
Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd.
Dosen Program Stydi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus
A.Pendahuluan
Bimbingan dan konseling saat ini tidak lagi terbatas hanya pada lingkungan pendidikan sekolah, melainkan juga dalam setting luar sekolah dan kemasyarakatan. Kehidupan global dan kemajuan teknologi informasi yang memperhadapkan manusia kepada perubahan pesat dan ragam informasi yang amat banyak, menghendaki manusia untuk selalu memperbaiki kemampuan dan kecakapannya di dalam memilih dan mengolah informasi agar dapat mengambil keputusan secara tepat. Perbaikan kemampuan dan kecakapan semacam ini perlu dilakukan secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan melalui proses belajar. Proses belajar menjadi proses sepanjang hayat menyangkut seluruh aspek kehidupan atau sejagat hayat. Belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat akan menjadi determinan eksistensi dan ketahanan hidup manusia.
Belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat adalah proses dan aktivitas yang terjadi melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, karena dia selalu dihadapkan kepada lingkungan yang selalu berubah yang menuntut manusia harus selalu menyesuaikan, memperbaiki, mengubah dan meningkatkan mutu perilaku untuk dapat memfungsikan diri secara efektif di dalam lingkungan.
Menyikapi dinamika masyarakat tersebut, profesi bimbingan dan konseling perlu selalu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat. Tantangan dan pengkritisan terhadap kinerja konselor sekolah tidak bisa kita anggap sebagai angin lalu. Di satu sisi kita sering mendengar keluhan para konselor sekolah dalam kegiatan temu ilmiah (konvensi, seminar, lokakarya), penataran dan pelatihan, bahwa mereka tidak memperoleh fasilitas di sekolah, sering diberi tugas yang tidak proporsional, diirikan guru mata pelajaran karena memperoleh KJM (Kelebihan Jam Mengajar). Di sisi lain Kepala Sekolah menganggap kinerja konselor sekolah tidak sebanding dengan kinerja guru mata pelajaran, sering menghindar jika diberi ”tugas khusus”, hasil kerjanya tidak nampak, tidak mempunyai administrasi BK. Sementara itu guru mata pelajaran juga menganggap bahwa kinerja konselor tidak sepadan dengan hak yang telah mereka terima setiap bulan.
Pengalaman penulis yang cukup menarik dalam hubungannya dengan kinerja konselor sekolah, dipaparkan sebagai berikut:
1.Tahun 1999/2000 penulis mengadakan penelitian tentang profil kinerja konselor SMP/MTs di Kabupaten XYZ. Kuesioner yang terdiri dari 198 item dimaksudkan untuk mengungkap kinerja konselor mulai dari perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi, analisis dan tindak lanjut. Item-item tersebut menyanyakan apakah mereka melakukan kegiatan perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi, analisis dan tindak lanjut. Jika jawaban Tidak, maka mereka diminta menyebutkan hambatannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi konselor sekolah, dan selanjutnya disusun program pelatihan sesuai kebutuhan konselor sekolah. Dari sekitar 75 konselor seolah, yang mengembalikan kuesioner hanya 12 orang. Informasi lisan yang penulis terima dari konselor sekolah yang mengembalikan kuesioner bahwa teman-teman yang tidak mengembalikan kuesioner karena pertanyaan item 197 dan 198, yaitu:
197. Apakah Bapak/Ibu bersedia jika diobservasi administrasi BK yang Bapak/Ibu kerjakan?
a. Ya
b. Tidak
198. Jika tidak, mengapa?
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Simpulan sementara oleh penulis adalah bahwa mereka yang tidak mengembalikan kuesioner karena tidak mempunyai administrasi BK, atau mereka tidak bekerja sebagaimana sinyalemen Kepala Sekolah dan guru mata pelajaran; dengan kata lain mereka termasuk inkompetensi.
2.Tahun 2000/2001 kegiatan penelitian diulangi dengan merubah kuesioner dalam bentuk tabel, namun hakekatnya untuk mengungkap informasi yang sama. Ternyata dari 75 responden yang mengembalikan kuesioner hanya 9; 5 diantaranya adalah yang sudah mengisi pada tahun 1999/2000. Peneliti memutuskan tidak mengolah data dari kuesioner yang dilakukan selama dua periode tersebut karena responden tidak mewakili penelitian populasi.
3.Tahun 2001/2002 penelitian dialihkan ke SMA dengan materi kuesioner 198 item seperti tersebut pada poin 1. Dari kurang lebih 50 konselor sekolah SMA/MA yang mengembalikan kuesioner hanya 16 orang. Penulis tidak berminat untuk menganalisis data yang tidak mewakili penelitian populasi tersebut.
4.Pada saat kegiatan Seminar dan Lokakarya yang diselenggarakan oleh ABKIN Kabupaten Kudus pada tanggal 4 Juni 2007, penulis iseng-iseng membuat kuesioner yang lebih sederhana (terlampir). Dari kurang lebih peserta yang berasal dari mahasiswa BK, Kepala dan guru SD/MI, Kepala SMP/MTs, SMA/MA/SMK, konselor SMP/MTs, konselor SMA/MA/SMK, Pengawas SD/MI, Pengawas SMP/MTs, Pengawas SMA/MA/SMK, dan undangan yang jumlahnya sekitar 200 orang, kuesioner yang kembali hanya 75. dengan perincian:
a.Mahasiswa BK : 13
b.Kepala dan Guru SD/MI : 5
c.Kepala SMP/MTs : 7
d.Kepala SMA/MA/SMK : 5
e.Konselor SMP/MTs : 19
f.Konselor SMA/MA/SMK : 16
g.Pengawas SD/MI : 5
h.Pengawas SMP/MTs : 3
i.Pengawas SMA/MA/SMK : 2
j.Umum
5.Dalam workshop konselor SMP/MTs yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, penulis menyebarkan kuesioner yang itemnya sama dengan yang disebarkan pada Seminar dan Lokakarya ABKIN Kabupaten Kudus. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
a.dari 140 konselor sekolah yang mengikuti workshop tanggal 6-9 Juni 2007, yang mengembalikan kuesioner 53 orang
b.dari 140 konselor sekolah (Pengurus MGP dari 35 kabupaten/kota) yang mengikuti workshop tanggal 15-18 Juni 2007, yang mengembalikan kuesioner 51 orang
Inilah realita tentang potret sebagian konselor kita. Realita ini bisa saja ditolak, kontroversial, dan kita anggap mengada-ada. Tetapi masalahnya bukan sekedar kita menolak, menganggap tidak benar sinyalemen tersebut. Namun, bagaimana kita merubah miskonsepsi tentang konselor tersebut dengan karya nyata sehingga eksistensi konselor sekolah tidak selalu dituding dan digugat pihak lain.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, suatu keniscayaan bagi setiap konselor sekolah untuk selalu mengacu pada Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) dalam memberikan berbagai layanan bimbingan dan konseling. Karena pada dasarnya, pelayanan bimbingan dan konseling adalah pengembangan kompetensi siswa dan konselor itu sendiri. Pengembangan kompetensi konselor niscaya menjadi indikator kinerja konselor sekolah yang bisa diakses oleh pihak-pihak lain di sekolah. Sehingga pelan tetapi pasti pihak lain dan pengguna mengakui kontribusi dan eksistensi konselor sekolah.
B.Kompetensi Dasar Konselor
Dari berbagai definisi kompetensi, terdapat persamaan makna yaitu the ability to do or perform something well dan the ability to function effectively in a job of life roles (Schalock, 1981: Harris, 1995 dalam Ansyar, 2005). Brojonegoro (2005) misalnya mengutip SK Mendiknas 045/U/2002, mengartikan kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh tangung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas di bidang tertentu. Nurhadi, Yasin, B. & Senduk, A.G. (2004) memaknai kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar yang tercermin dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dalam kaitan itu, siswa yang kompeten adalah siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai dasar untuk melakukan sesuatu. MacAsham menyimpulkan bahwa kompetensi terbentuk dari konstitusi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai (sikap) yang menjadikan seorang sukses dalam hidupnya (Hasan, 2002). Kompetensi itu yang menjadikan seseorang fungsional di masyarakat (functional competence), profesional dalam pekerjaan (vocational competence), dan berkembang dalam hidupnya (study skill). Jadi, kompetensi merupakan hasil konstruksi kemampuan (compose skill) sehingga seseorang mampu; (1) melaksanakan pekerjaan sesuai peran, posisi atau profesi, (2) mentransfer ke tugas dan situasi baru, serta (3) melanjutkan studi dan mencapai kedewasaan diri (Harris, et.al., 1995 dalam Ansyar, 2005).
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Depdiknas, 2005a), dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2005b), dikemukakan empat kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kompetensi tersebut mencakup kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan pendidik membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidkan. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Konselor pada hakikatnya seorang psychological-educator, yang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (Depdiknas, 2003), dimasukkan sebagai kategori pendidik. Oleh karena itu konselor juga harus memiliki kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi paedagogik bagi konselor dimaknai sebagai kemampuan membantu peserta didik untuk memahami diri, menerima diri, dan mengembangkan aspek-aspek kepribadiannya secara utuh, serta mengaktualisasikan potensi dirinya. Kompetensi kepribadian bagi seorang konselor sama dengan kompetensi kepribadian pendidik pada umumnya. Kompetensi profesional konselor adalah penguasaan konselor atas karakteristik pribadi peserta didik, materi bimbingan yang inheren pada pribadi peserta didik, teknik membantu, dan sejumlah kompetensi tambahan lainnya yang secara simultan mengarah ke konseling yang peduli terhadap kemaslahatan peserta didik. Sedangkan yang terakhir, kompetensi sosial konselor sama dengan kompetensi sosial pendidik pada umumnya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka konselor terikat dengan kompetensi yang harus dikembangkan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Sehubungan dengan hal itu, kompetensi yang harus menjadi pegangan oleh konselor adalah Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) dalam konteks PP 19/2005.
Setiap konselor dalam kehidupan kesehariannya, baik sebagai pribadi maupun dalam menjalankan tugasnya, terikat oleh SKKI yang dijabarkan dalam kaitannnya dengan PP 19/2005, sebagai berikut:
1.Kompetensi Paedagogik (PP 19/2005)
Pada kompetensi paedagogik ini, sub kompetensi dan indikatornya (SKKI), adalah sebagai berikut:
K.1.1. Memahami landasan keilmuan pendidikan (filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi)
a. Memahami hakikat kebenaran dan sistem nilai yang mendasari proses-proses pendidikan
b. Memahami proses pembentukan perilaku individu dalam proses pendidikan
c. Memahami karakteristik individu berdasar usia, gender, ras, etnisitas, status sosial, dan ekonomi dan ekonomi dapat mempengaruhi individu dan kelompok
K.1.3. Menguasai konsep dasar dan mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan
a. Memahami hubungan antar unsur-unsur pendidikan (pendidik, peseerta didik, tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan lingkungan pendidikan)
b. Mampu memilih dan menggunakan alat-alat pendidikan (kewibawaan, kasih sayang, kelembutan, keteladanan, dan hukuman yang mendidik)
2.Kompetensi Kepribadian
Pada kompetensi kepribadian ini, sub kompetensi dan indikatornya (SKKI), adalah sebagai berikut:
K.2.1. Menampilkan keutuhan kepribadian konselor
a. Menampilkan perilaku membantu berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Mengkomunikasikan secara verbal dan atau nonverbal minat yang tulus dalam membantu orang lain
c. Mendemonstrasikan sikap hangat dan penuh perhatian
d. Secara verbal dan nonverbal mampu mengkomunikasikan rasahormat konselor terhadap klien sebagai pribadi yang berguna dan bertanggung jawab
e. Mengkomunikasikan harapan, mengekspresikan keyakinan bahwa klien memiliki kapasitas untuk memecahkan problem, menata dan mengatur hidupnya, dan berkembang.
f. Mendemonstrasikan sikap empati dan atribusi secara tepat
g. Mendemonstrasikan integritas dan stabilitas kepribadian serta control diri yang baik
h. Memiliki toleransi yang tinggi terhadap stress dan frustrasi
i. Mendemonstrasikan berfikir positif terhadap orang lain dan lingkungannya
K.2.2. Berperilaku etik dan profesional
a.Menyadari bahwa nilai-nilai pribadi konselor dapat mempengaruhi respon-respon konselor terhadap klien
b.Menghindari sikap-sikap prasangka dan pikiran-pikiran stereotipe terhadap klien
c.Tidak memaksakan nilai-nilai pribadi konselor terhadap klien
d.Memahami kekuatan dan keterbatasan personal dan profesional
e.Mengelola diri secara efektif
f.Bekerja sama secara produktif dengan teman sejawat dan anggota profesi lain
g.Secara konsisten menampilkan perilaku sesuai dengan kode etik profesi
3.Kompetensi Profesional
Selanjutnya, pada kompetensi profesional ini, sub kompetensi dan indikatornya (SKKI), adalah sebagai berikut:
K.2.3. Memiliki komitmen untuk meningkatkan kemampuan profesional
a.Menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling yang secara etik dapat dipertanggungjawabkan bagi semua klien
b.Berperilaku objektif terhadap pandangan, nilai-nilai, dan reaksi emosional klien yang berbeda dengan konselor
c.Memiliki inisiatif dan terlibat dalam pengembangan profesi dan pendidikan lanjut untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan profesional
d.Memiliki kepedulian untuk aktif dalam organisasi profesi konseling
K.3.1. Memahami kaidah-kaidah perilaku individu dan kelompok
a. Menjelaskan mekanisme perilaku menurut berbagai pendekatan
b. Menjelaskan dinamika perilaku individu dan kelompok
c. Menjelaskan hubungan antara motivasi dan emosi
d. Menjelaskan mekanisme pertahanan diri
K.3.2. Memahami konsep kepribadian
a. Menjelaskan proses pembentukan pribadi
b. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian
c. Menjelaskan bentuk-bentuk gangguan kepribadian individu
K.3.3. Memahami konsep dan prinsip-prinsip perkembangan individu
a. Menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan
b. Menjelaskan proses perkembangan individu
c. Menjelaskan aspek-aspek perkembangan
d. Menjelaskan fase dan tugas perkembangan
e. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
K.3.4. Mampu memfasilitasi perkembangan individu
a. Memilih strategi intervensi perkembangan individu yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik individu
b. Mampu merekayasa lingkungan
K.4.1. Memahami hakikat dan makna asesmen
a.Memahami perspektif historis asesmen sebagai awal layanan
b.Menunjukkan alasan dan pentingnya asesmen
c.Menunjukkan bukti kebenaran, jenis kebenaran, dan hubungan antar kebenaran secara objektif
d.Memahami konsep validitas, reliabilitas, dan daya beda dalam pengembangan instrumen
e.Memahami konsep statistika dalam asesmen meliputi timbangan pengukuran, ukuran kecondongan terpusat, indeks variabilitas, bentuk dan jenis distribusi, serta korelasi
f.Memahami teori kesalahan pengukuran, model dan penggunaan informasi keterandalan, serta hubungan antara kebenaran dengan keterandalan
K.4.2. Memilih strategi dan teknik asesmen yang tepat
a.Memahami teknik-teknik asesmen melalui tes meliputi: jenis, kelebihan dan kekurangan, dan karakteristik masing-masing perilaku yang diungkap oleh teknik tersebut
b.Memahami teknik-teknis asesmen non tes meliputi: macamnya, kelebihan dan kekurangan, dan karakteristik masing-masing perilaku yang diungkap oleh teknik tersebut
c.Mampu memiliki teknik-teknik asesmen sesuai dengan pertimbangan usia, gender, orientasi seksual, etnik, kultur, agama, dan factor lain dalam asesmen individual, kelompok, dan populasi spesifik.
K.4.3. Mengadministrasikan asesmen dan menafsirkan hasilnya
a. Mampu menggunakan tes psikologis dan menginterpretasikan hasilnya
b. Mampu menggunakan instrumen non-tes dalam asesmen psikologis dan menginterpretasikan hasilnya
c. Mampu mengelola konferensi kasus dalam alur asesmen
d. Mampu menggunakan komputer dan teknologi informasi sebagai alat bantu asesmen
e. Mampu melakukan pendokumentasian hasil asesmen secara sistematis dan mudah diakses
K.4.4. Memanfaatkan hasil asesmen untuk kepentingan bimbingan dan konseling
a. Mampu memilih hasil asesmen untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling
b. Mampu memprediksi perkembangan individu dan atau kelompok dalam menghadapi perubahan
c. Mengelola konferensi kasus dalam alur asesmen
K.4.5. Mengembangkan instrumen asesmen
a. Mengembangkan instrumen tes
b. Mengembangkan instrumen non-tes
K.5.1. Memahami konsep dasar, landasan, azas, fungsi, tujuan dan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling
a. Mampu menjelaskan konsep dasar bimbingan dan konseling
b. Mampu menjelaskan landasan filosofis, religius, psikologis, sosial budaya, ilmiah, dan teknologis, serta landasan paedagogis
c. Mampu menjelaskan azas-azas bimbingan dan konseling
d. Mampu menjelaskan fungsi bimbingan dan konseling
e. Mampu menjelaskan tujuan bimbingan dan konseling
f. Mampu menjelaskan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling
K.5.2. Memahami bidang-bidang garapan bimbingan dan konseling
a.Terampil memberikan pelayanan bimbingan dan konseling pribadi-sosial
b.Terampil memberikan pelayanan bimbingan dan konseling belajar
c.Terampil memberikan pelayanan bimbingan dan konseling karir
K.5.3. Menguasai pendekatan dan teknik teknik bimbingan dan konseling
a.Mampu menjelaskan berbagai macam pendekatan dalam bimbingan dan konseling
b.Mampu memilih pendekatan bimbingan dan konseling secara tepat dan mempraktikkannya sesuai dengan keadaan klien
c.Terampil menggunakan teknik-teknik bimbingan dan konseling individual
d.Terampil menggunakan teknik-teknik bimbingan dan konseling kelompok
K.5.4. Mampu menggunakan dan mengembangkan alat dan media bimbingan dan konseling
a.Memahami berbagai alat dan media dalam bimbingan dan konseling
b.Mampu mengembangkan berbagai alat dan media bimbingan dan konseling
c.Mampu menggunakan dan mengambangkan model-model layanan bimbingan dan konseling berbasis teknologi
K.6.1. Memiliki pengetahuan dan keterampilan perencanaan program bimbingan dan konseling
a.Menerapkan prinsip-prinsip perencanaan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan program bimbingan dan konseling
b.Mampu melakukan penilaian kebutuhan layanan bimbingan dan konseling
c.Menentukan tujuan dan menentukan prioritas program bimbingann dan konseling
d.Menyusun program bimbingan dan konseling
K.6.2. Mampu mengorganisasikan dan mengimplemetasikan program bimbingan dan konseling
a. Mengidentifikasi personalia dan sasaran program bimbingan dan konseling secara tepat
b. Mengkoordinasikan dan mengorganisasikan personalia dan sumber daya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan program bimbingan dan konseling secara maksimal
c. Melaksanakan program bimbingan dan konseling dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh komponen yang terkait
K.6.3. Mampu mengevaluasi program bimbingan dan konseling
a.Mereview program bimbingan dan konseling berdasarkan standar penyelenggaraan program
b.Mampu menggunakan pendekatan evaluasi program bimbingan dan konseling secara tepat
c.Mengkoordinasikan kegiatan evaluasi program bimbingan dan konseling
d.Membuat rekomendasi yang tepat untuk perbaikan dan pengembangan program bimbingan dan konseling
e.Mendiseminasikan hasil dan temuan-temuan evaluasi penyelenggaraan program bimbingan dan konseling kepada pihak yang berkepentingan
f.Mengontrol implementasi program bimbingan dan konseling agar senantiasa berjalan sesuai desain perencanaan program
K.6.4. Mampu mendesain perbaikan dan pengembangan program bimbingan dan konseling
a. Memanfaatkan hasil evaluasi program bimbingan dan konseling untuk perbaikan dan pengembangan program
b. Menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan program bimbingan dan konseling
K.7.1. Memahami berbagai jenis dan metode riset
a.Mampu menjelaskan konsep, prinsip, dan metode riset
b.Mendesain dan mengimplementasikan riset
K.7.2. Mampu merancang riset bimbingan dan konseling
a.Mengidentifikasi masalah
b.Merumuskan masalah
c.Menentukan kerangka fikir riset
d.Merumuskan tujuan dan manfaat hasil riset
e.Menentukan pendekatan riset
f.Menentukan subjek riset
g.Menentukan prosedur dan mengembangkan teknik pengumpulan data
h.Menentukan teknik analisis data
K.7.3. Melaksanakan riset bimbingan dan konseling
a.Mengumpulkan data riset
b.Mengolah dan menganalisis data
c.Melaporkan hasil riset
K.7.4. Memanfaatkan hasil riset dalam bimbingan dan konseling
a.Mampu membaca dan menafsirkan hasil riset
b.Mampu memanfaatkan hasil riset untuk pengembangan bimbingan dan konseling
4.Kompetensi Sosial
Dan terakhir, pada kompetensi sosial ini, sub kompetensi dan indikatornya (SKKI), adalah sebagai berikut:
K.1.2. Menguasai landasan budaya
a. Memahami perbedaan-perbedaan budaya (usia, gender, ras, etnisitas, status sosial, dan ekonomi) dapat mempengaruhi individu dan kelompok
b. Memahami dan menunjukkan sikap penerimaan terhadap perbedaan sudut pandang subjektif antara konselor dengan klien
c. Peka, toleran dan responsif terhadap perbedaan budaya klien
K.2.1. Menampilkan keutuhan pribadi konselor
b. Mengkomunikasikan secara verbal dan atau nonverbal minat yang tulus dalam membantu orang lain
c. Mendemonstrasikan sikap hangat dan penuh perhatian
d. Secara verbal dan nonverbal mampu mengkomunikasikan rasahormat konselor terhadap klien sebagai pribadi yang berguna dan bertanggung jawab
e. Mengkomunikasikan harapan, mengekspresikan keyakinan bahwa klien memiliki kapasitas untuk memecahkan problem, menata dan mengatur hidupnya, dan berkembang
K.2.2. Menampilkan perilaku etik dan profesional
f. Bekerja sama secara produktif dengan teman sejawat dan anggota profesi lain
C. PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR
Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum tingkat satuan pendidikan, baik sekolah maupun madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler (Anonim, 2006).
Kegiatan pengembangan diri dalam bentuk pelayanan konseling difasilitasi/ dilaksanakan oleh konselor, dan kegiatan ekstra kurikuler dapat dibina oleh konselor, guru dan tenaga kependidikan lain sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya. Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pelayanan konseling dan ekstra kurikuler yang dilakukan oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan diarahkan agar setiap peserta didik dapat mencapai tugas-tugas perkembangan siswa SMA (Depdiknas, 2006c).
Mengacu pada rumusan SKKI dan pengembangan diri di atas, menurut hemat penulis setiap konselor hukumnya wajib untuk selalu mengembangkan diri dalam rangka membekali dirinya sebagai pelaksana layanan konseling agar mampu melaksanakan tugas pengembangan diri bagi setiap siswa asuhnya. Sehubungan dengan hal itu, pengembangan diri konselor mencakup empat komponen yaitu pendidikan, kepribadian, professional, dan sosial.
1.Komponen Pendidikan
Pengembangan diri konselor dalam komponen pendidikan adalah dalam rangka memperoleh pemahaman yang utuh dan mengamalkan kompetensi paedagogik, sub kompetensi dan indikatornya (SKKI). Tolok ukur dari pengembangan diri konselor dalam komponen pendidikan ini dapat diidentifikasi dari:
a. Kesunguhannya dalam memahami dan mengembangkan pengetahuannya mengenai ilmu pendidikan. Hal ini dapat dilihat kemauannya untuk membaca berbagai referensi tentang pendidikan
b. Mengimplementasikan konsep dan prinsip-prinsip pendidikan yang telah dipelajari dan dipahami ke dalam praktik di sekolah.
2.Komponen Kepribadian
Pengembangan diri konselor dalam komponen kepribadian adalah kontrol diri untuk senantiasa mengarahkan dinamika kepribadiannya menuju ke arah kepribadian (mental) yang sehat. Karakteristik orang (lebih-lebih konselor) yang mempunyai kesehatan mental yang baik oleh Arlington (Davis & Newstrom, 1992) dirinci sebagai berikut:
a.Merasa nyaman dengan dirinya sendiri
(1)Tidak terpengaruh oleh emosinya – oleh ketakutan, amarah, cinta, kecemburuan, kesalahan atau kekhawatiran
(2)Dapat mengembalikan rasa kecewa
(3)Mempunyai toleransi, bersikap tenang baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, dapat tertawa dengan wajar
(4)Tidak terlalu meremehkan atau mengagungkan kemampuannya
(5)Dapat menerima kelemahannya
(6)Mempunyai rasa hormat terhadap diri sendiri
(7)Merasa mampu menghadapi kebanyakan situasi yang mereka temui
(8)Mendapat kepuasan dari yang sederhana, bergembira setiap hari.
b.Merasa orang lain penting
(1)Sanggup mencintai dan memperhatikan kepentingan orang lain
(2)Mempunyai hubungan pribadi yang memuaskan dan langgeng
(3)Berharap menyukai dan mempercayai orang lain
(4)Tidak mempermainkan orang-orang atau membiarkan orang-orang mempermainkannya
(5)Dapat merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok
(6)Merasa bertanggungjawab terhadap tetangga dan orang lain
c.Mampu memenuhi kebutuhan hidup
(1)Betindak terhadap masalah yang timbul pada dirinya
(2)Menerima tanggung jawab
(3)Membentuk lingkungan bila mungkin; menyesuaikan diri dengan lingkungan bila perlu
(4)Berencana tetapi tidak takut masa depan
(5)Menyambut pengalaman dan gagasan baru
(6)Memanfaatkan kemampuan alamiah mereka
(7)Menetapkan tujuan yang realistis bagi diri sendiri
(8)Sanggup berpikir sendiri dan mengambil keputusan sendiri
(9)Melakukan usaha yang terbaik terhadap apa saja yang memberi kepuasan dengan melakukannya
Panduan di atas dapat menjadi salah satu rujukan bagi setiap konselor agar pengembangan kesehatan mentalnya senantiasa sehat, sehingga mampu melaksanakan tugas pengembangan diri siswa asuhnya dengan baik.
3.Komponen Profesional
Sikap dan perilaku profesional merupakan komponen yang penting dalam kehidupan seorang konselor. Indikator yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur pengembangan diri konselor, antara lain:
a.Mempunyai komitmen yang tinggi dalam meningkatkan kemampuan profesional:
(1)Menyelenggarakan layanan kepada semua klien yang secara etik dapat dipertanggungjawabkan
(2)Aktif dalam pengembangan profesi: studi lanjut, pelatihan, seminar.
(3)Peduli dan aktif untuk mengembangkan organisasi profesi (ABKIN)
b. Mampu menyusun program bimbingan dan konseling, melaksanakan, mengevaluasi, menganalisis, dan melakukan tindak lanjut berdasarkan:
(1)Kaidah-kaidah perilaku individu dan kelompok
(2)Konsep dan prinsip-prinsip perkembangan individu
(3)Asesmen sesuai kebutuhan konseli, baik asesmen non-tes maupun tes
(4)Pendekatan dan teknik-tenik bimbingan dan konseling
(5)Alat dan media bimbingan dan konseling. Jika belum ada, mampu berkreasi menggunaan alat dan media yang sesuai
(6)Hasil riset bimbingan dan konseling yang dilakukannya
4.Komponen Sosial
Pengembangan diri komponen sosial konselor untuk menditeksi kompetensi sosial, sub kompetensi dan indikatornya sebagaimana rumusan SKKI. Pengembangan diri komponen sosial dapat diamati dari indikator berikut ini:
a.Memiliki kepekaan terhadap perbedaan budaya yang melandasi pelayanan bimbingan dan konseling
b.Menampilkan keutuhan kepribadian konselor baik secara verbal, nonverbal, sikap dan perilaku dalam memberikan layanan
c.Bekerja sama secara produktif dengan teman sejawat dan anggota profesi lain
Pengembangan diri konselor merupakan kewajiban dan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan konselor, baik sebagai pribadi, seorang profesional, warga masyarakat sekolah, maupun sebagai warga masyarakat dalam arti luas. Oleh karena itu, setiap konselor seharusnya selalu berusaha untuk menyisihkan sebagian gajinya untuk memperoleh bahan-bahan referensi dan kegiatan profesional (pelatihan, seminar, penelitian), serta meluangkan waktunya untuk belajar dan mengembangkan diri.
D. STRATEGI PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR
Mengacu pada uraian yang terdapat dalam Terapi NLP – Neuro Linguistic Programming Menciptakan Master Komunikasi Yang Komunikatif tulisan Dr. Ibrahim Elfaky, penulis menggaris bawahi bahwa kunci dari eksistensi dan kompetensi konselor adalah perubahan, sebagaimana ditulis oleh Elfiky (2007) sebagai berikut:
Ketika saya masih muda, dan bebas berimajinasi, saya bermimpi mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kebijaksanaan, saya mendapati dunia yang tidak berubah, saya pun menyederhanakan keinginan saya dan memutuskan hanya ingin mengubah negeri saya. Akan tetapi, tampaknya tak ada yang berubah dengan negeri saya. Usia pun kian senja, usaha terakhir saya adalah berusaha mengubah keluarga, orang-orang terdekat. Akan tetapi, lagi-lagi, mereka tetap sama, tak ada yang berubah.
Dan, sekarang saat saya terbaring sekarat di ranjang kematian, tiba-tiba saya menyadari: bahwa yang seharusnya pertama kali saya lakukan adalah mengubah diri sendiri. Kemudian dengan memberikan keteladanan, saya mengubah keluarga saya. Dorongan dan inspirasi mereka memungkinkan saya memperbaiki negeri dan siapa tahu, saya mungkin bisa mengubah dunia (Anonim).
Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui proses pembelajaran dan change model (Elfiky, 2007).
1.Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang harus dilakukan oleh setiap konselor mengikuti tahapan sebagai berikut
2.Change model disarankan oleh Elfiky (2007) sebagai berikut:
Beberapa kalimat bijak berikut ini penulis kutipkan dari Devi (2002), dengan harapan menjadi sumber inspirasi bagi setiap konselor untuk mengembangankan dirinya:
Membaca menjadikan orang sempurna; konferensi menjadikan orang siap; dan menulis menjadikan orang akurat (Francis Bacon)
Berpikir tanpa belajar membuat orang bertingkah aneh, dan belajar tanpa berpikir menimbulkan bencana (Kong Hu Cu)
Seorang jenius tidak berdebat, dia mencipta (Rabintranath Tagore)
Jenius: satu persen inspirasi, sembilan puluh sembilan persen kerja keras (Thomas Alva Edison)
Seorang pemenang tidak pernah menyerah; seseorang yang menyerah tidak pernah menang (Anonim)
Dan yang terakhir ini dari seorang da’i yang sudah kita kenal:
Mulailah dari yang kecil-kecil; mulailah dari dirimu sendiri; mulailah dari sekarang –untuk menjadi orang sukses (Abdullah Gymnastiar)
Landasan Bimbingan dan Konseling
In Bimbingan, konseling, opini, referensi bk on March 22, 2008 at 6:45 pm
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Abstrak :
Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun di atas landasan yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis; (3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada aspek pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor mutlak perlu memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Kata kunci : bimbingan dan konseling, landasan filosofis, landasan psikologis; landasan sosial-budaya, landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
A. Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien). .
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya..
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling.
B. Landasan Bimbingan dan Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum.
Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
• Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
• Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
• Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
• Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
• Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
• Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
• Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
• Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
• Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
• Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
• Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
• Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB – IKIP Bandung
.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas
.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta
.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Profil Manajemen Bimbingan dan Konseling
Sekolah Menengah Atas (SMA) Rekanan Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma (Prodi BK USD) di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2006
Fajar Santoadi1
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan dua landasan pemikiran (a) model manajemen bimbingan dan konseling yang berkembang di SMA rekanan Prodi BK USD dewasa ini, (b) kebutuhan akan dukungan managerial bagi program BK komprehensif.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan profil manajemen BK di SMA rekanan Prodi BK USD. Instrumen penggali data penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan Focus Group Discussion (FGDs).
Peneliti menemukan hal positif dan negative melalui penelitian ini. Hal positif tersebut adalah (1) rasio konselor-siswa relatif memadai, (2) kebanyakan konselor sekolah menggunakan berbagai metode asesmen kebutuhan, (3) Sebagian SMA rekanan Prodi BK USD menyelenggarakan layanan bimbingan kelompok bagi semua siswa, (4) semua SMA rekanan Prodi BK USD menyediakan layanan konseling individual, (5) setiap SMA rekanan Prodi BK USD menggunakan berbagai metode untuk mengontrol pelaksanaan program BK, (6) setiap SMA rekanan Prodi BK USD memberikan informasi tentang program BK kepada siswa, guru, dan orang tua, (7) setiap SMA rekanan Prodi BK USD menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam menyediakan layanan BK. Hal-hal negatif yang ditemukan adalah (1) Profesionalitas mayoritas staf bimbingan di SMA rekanan Prodi BK USD kurang memadai, (2) Terdapat sedikit SMA rekanan Prodi BK USD yang tidak melakukan asesmen kebutuhan, (3) Sebagian SMA rekanan Prodi BK USD hanya menyediakan layanan bimbingan kelompok tak teratur kepada siswa di kelas tertentu, (4) Kebanyakan SMA rekanan Prodi BK USD menyediakan layanan bimbingan kelompok yang tidak berkesinambungan, (5) Kebanyakan SMA rekanan Prodi BK USD melakukan evaluasi program BK dengan metode tidak ilmiah, (6) layanan BK bagi keluarga siswa tidak memadai untuk menciptakan lingkungan yang suportif bagi siswa.
Peneliti mengusulkan dua hal sebagai berikut: (1) Peningkatan kompetensi konselor dalam teori BK perkembangan, manajemen BK komprehensif, keterampilan mengelola konseling kelompok, metode penelitian dan evaluasi, merancang program pendidikan keorangtuaan, (2) Peningkatan pengetahuan pimpinan sekolah dalam manajemen BK Komprehensif yang akan membuat mereka mampu menciptakan iklim sekolah yang mendukung program BK.
Kata Kunci :
Manajemen bimbingan dan konseling komprehensif, paradigma diagram ven empat bidang bimbingan, paradigma empat bidang bimbingan berurutan.
1 Fajar Santoadi, S.Pd, dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah :
1.1.1. Kondisi aktual Manajemen BK
Bimbingan dan Konseling (BK) di banyak sekolah di DIY tidak mendapatkan jam khusus untuk Layanan Bimbingan Kelompok/Klasikal. Bimbingan Kelompok/Klasikal hanya dapat dilakukan bila ada guru mata pelajaran tertentu yang berhalangan hadir atau dengan ‘suka rela’ memberikan jam pelajaran kepada konselor sekolah untuk bimbingan kelompok klasikal. Bimbingan Kelompok/Klasikal untuk siswa kelas III (SMP maupun SMA) di banyak sekolah ditiadakan dengan alasan, persiapan Ujian Nasional (UN) di tahun terakhir masa studi SMP dan SMA amat penting. Ini adalah alasan situasional yang bertentangan dengan prinsip pendidikan yang utuh. Asumsi bahwa pada tahun terakhir siswa SMP dan SMA tidak membutuhkan hal lain selain persiapan UN yang bernuansa akademis belaka, adalah asumsi yang sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan utuh.
Beberapa kondisi (sekaligus menjadi penyebab) yang diduga melatarbelakangi kebijakan sekolah di atas antara lain (a) Fokus utama sekolah adalah pengembangan kompetensi akademis-kognitif belaka. Meskipun hal ini akan sulit diakui secara jujur, namun peniadaan jam bimbingan kelompok klasikal adalah bentuk nyata pemusatan perhatian sekolah hanya pada aspek akademik saja, (b) Penentu kebijakan pendidikan di tingkat sekolah memahami BK hanya berupa pertemuan individual (konseling) saja dan terutama berfungi dalam mengatasi persoalan-persoalan siswa-siswi (fungsi kuratif), (c) BK sebagai bagian dari sekolah belum dapat membuktikan unjuk kerja yang berkualitas. Tiadanya program BK berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan, membuat siswa, pengelola sekolah, dan stake holder lain sulit memberi kepercayaan kepada BK. Yang dianggap program selama ini adalah semacam daftar aktivitas (dapat mengacu pada pola 17 atau pola-pola yang lain), tetapi tidak menonjolkan isi yang akan ‘digarap’, untuk mengembangkan aspek afektif, nilai, sikap, dan perilaku positif siswa. Pola 17 yang sering dipajang di ruang BK sebenarnya hanyalah ‘bungkus’ yang belum menampakkan ‘isi’. Ketidakmampuan BK di sekolah membuktikan unjuk kerja yang berkualitas dan ketidak percayaan administrator dan seluruh staff kependidikan di sekolah menjadi lingkaran sebab akibat yang harus diurai akarnya sehinngga langkah pemecahan dapat dirumuskan. (d) Evaluasi program BK dengan metode ilmiah sekolah belum berkembang. Gysbers dan Handerson (2006) menunjukkan bahwa evaluasi dalam BK di sekolah mencakup tiga jenis evaluasi yaitu evaluasi kinerja konselor (Counselor performance evaluation), evaluasi kinerja konselor (Counselor performance evaluation), dan evaluasi hasil (result evaluation). Evaluasi kinerja konselor memusatkan perhatian pada penilaian unjuk kerja
2
konselor dan kemampuan membawakan diri sebagai konselor. Evaluasi program (program evaluation) memusatkan perhatian pada penilaian mutu pelaksanaan program BK yang sudah dirancang. Evaluasi hasil (result evaluation) memusatkan perhatian pada penilaian atas hasil dan dampak program BK (outcomes and impact).
Kebijakan meniadakan jam bimbingan kelompok/klasikal mengakibatkan fungsi developmental (pengembangan kemampuan-kemampuan siswa), fungsi pencegahan, dan pemeliharaan (perseveratif) bimbingan dan Konseling dalam aspek perkembangan personal, edukasional, dan karier tidak dapat dijalankan secara utuh. Ketidakmengertian dan prasangka administrator sekolah bahwa BK dianggap membuang-buang waktu dan tidak memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan siswa mengakibatkan sulitnya memperoleh dukungan sekolah terhadap program BK.
1.1.2. Kebutuhan akan Dukungan Manajerial
Visi BK yang realistis memang harus dikembangkan berdasarkan kondisi nyata peserta didik di setiap lembaga pendidikan. Meskipun sekarang ini manajemen berbasis sekolah menjadi acuan, tetapi ini bukan berarti pemerintah membiarkan manajemen sekolah tidak memberi ruang bagi pelayanan aspek-aspek non akademis (salah satu di antaranya adalah BK). Pemerintah (melalui Dinas Pendidikan) berperan menciptakan standar manajemen sekolah yang menjamin proses pendidikan dalam aspek akademis (bidang studi) dan non akademis (BK). Standar ini dapat menjaga keseimbang aspek akademiks dank on-akademiks di satu sisi dan keleluasaan bagi BK di sekolah untuk menyediakan layanan yang paling sesuai dengan kebutuhan siswa yang khas. Keseimbangan ini membutuhkan standar proses, misalnya aturan yang mengharuskan adanya pelayanan bimbingan kelompok/klasikal yang menjangkau semua siswa, dan semua stakeholder yang penting bagi siswa. BK di sekolah tidak terlalu membutuhkan standar isi sebab isi pelayanan BK berbasis kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah tertentu yang khas. Bahkan jika ada 'kurikulum BK' yang dirumuskan secara nasional, provinsi, atau wilayah yang lebih kecil, hal tersebut belum tentu selaras dengan kondisi dan latar belakang budaya peserta didik yang khas di sekolah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengharuskan sekolah mengalokasikan 2 jam pelajaran per minggu bagi mata pelajaran pengembangan diri. Sekolah yang sudah memiliki visi pendidikan yang seimbang, yang tidak semat-mata berorientasi akademis-kognitif, akan menanggapi tuntutan KTSP dengan memberi ruang yang luas bagi pengembangan nilai-nilai humaniora, sikap, perilaku (character building), termasuk peran konselor dalam pengembangan diri siswa.
3
Masyarakat lebih menghargai prestasi akademis yang tinggi dari pada menaruh perhatian pada pembentukan nilai-nilai kemanusiaan. ‘Pasar’ semacam inilah yang seringkali menyeret sekolah-sekolah mengembangkan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang kontraproduktif bagi pembentukan karakter (character building). Peniadaan jam bimbingan kelompok klasikal bagi siswa-siswi di SMP dan SMA/K adalah bukti nyata kebijakan pendidikan di sekolah yang timpang. Bimbingan dan Konseling hanya dikenal sebagai interaksi di ruang Konseling belaka dan menangani peserta didik yang bermasalah saja. Padahal yang jauh lebih penting dan berdaya guna dalam jangka panjang adalah program BK yang bernuansa developmental, preventif, dan perseveratif (pemeliharaan kondisi positif yang sudah terbentuk). Visi BK komprehensif membutuhkan dukungan manajemen pendidikan di tingkat sekolah.
Studi ini dilakukan dengan fungsi ganda yaitu: (a) dari sudut pandang peneliti, penelitian ini dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran atau profil manajemen BK di sekolah-sekolah menengah (b) dari sudut pandang sekolah, penelitian ini dapat dipandang sebagai evaluasi manajemen program BK di SMA rekanan Prodi BK USD. (c) Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dikembangkan menjadi instrument evaluasi manajemen program BK yang dapat dipakai oleh setiap sekolah untuk mengevaluasi manajemen program BK di sekolah masing-masing dengan metode self-evaluation, atau semacam self directed search, tanpa mengandalkan evaluator dari luar sekolah.
1.2. Rumusan Masalah :
Penelitian ini memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana profil manajemen BK di SMA rekanan Prodi BK USD di DIY.
1.3. Tujuan Penelitian :
Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang profil manajemen BK di SMA rekanan Prodi BK USD di DIY.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hakikat Manajemen BK Komprehensif
Definisi Program BK komprehensif sangat luas dan tidak dapat dengan mudah di rumuskan. Mengeksplorasi hakikat Program BK komprehensif berarti menelurusi beberapa pertanyaan berikut ini. Pertama, bagaimana hubungan program Bimbingan dengan sistem pendidikan di lembaga pendidikan tertentu? Kedua, bagaimana pengelolaan (manajemen) program BK agar sifat komprehensif-sistemik program BK nampak? Ketiga, apa saja ciri-ciri
4
2 Syetemic : affecting or relating to a system; Sistematic: done methodically, well organized (Microsoft Encarta World English Dictionary).
3 Contoh program pendidikan keorangtuaan (disebut parent workshop and instruction) penulis temukan dalam Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000) dan Comprehensive Counseling and Guidance State Model for Alabama Public School (2003). Gibson (dalam Erford, 2004) juga menyebut layanan konsultasi bagi orang tua sebagai jembatan antara konselor dan siswa yang akan mempengaruhi kehidupan siswa. Barton dan Cicero (dalam Erford, 2004) mengungkapkan Family Fesource Centre dapat membantu konselor bekerja meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka.
program BK yang dapat dianggap komprehensif dan bersifat sistemik? Keempat, siapa saja yang terlibat dalam program BK komprehensif dan apa saja Keketerlibatan mereka? Kelima, apa saja hasil dan dampak yang diharapkan dari program BK komprehensif? Berikut ini adalah uraian tentang unsur-unsur yang terdapat dalam hakikat program BK Komprehensif.
2.1.1. Sifat Sistemik dalam Program BK Komprehensif
Program BK Komprehensif bersifat sistemik, bukan sekedar program yang sistematis2. Program BK yang sistematik adalah program pelaksanaannya sesuai dengan rencana, tertata baik sejak perencanaan, pendataan, implementasi, dan evaluasi. Sementara program BK yang sistemik adalah program BK yang dirancang untuk menjangkau berbagai pihak, mulai dari siswa sebagai individu maupun kelompok, komunitas sekolah, keluarga, komunitas, dan masyarakat. Pendekatan sistemik dalam program BK komprehensif menempatkan individu sebagai pusat sistem dan menciptakan hubungan antar subsistem yang mempengaruhi individu ke arah perkembangan positif seperti sekolah, keluarga, komunitas, dan masyarakat (Erford, 2004).
Sifat sistemik Program BK Komprehensif nampak dalam beberapa hal berikut (a) asesmen yang dapat merumuskan kebutuhan siswa dan stake holder penting lain seperi orang tua, komunitas sebaya, para guru, administrator sekolah, dll. Program BK yang sistemik haruslah menjadi sebuah program yang data driven. (b) Layanan BK yang menjangkau siswa dan stake holder lain yang relevan seperti orang tua, komunitas asal siswa, komunitas sebaya, para guru, dan masyarakat sekolah secara umum, (c) Program BK Sistemik dapat melibatkan stake holder tidak saja sebagai penerima layanan, tetapi juga sebagai rekanan dalam memberi layanan yang relevan. Misalnya, dalam rangka menciptakan lingkungan keluarga asal yang sehat dan kondusif bagi tumbuh kembang siswa, komite sekolah dapat terlibat dalam mengorganisir kegiatan pendidikan keorangtuaan (parenting education)3, (d) Evaluasi proses, hasil (result), dan dampak (outcome, impact) yang menjangkau siswa dan stake holder tersebut di atas. Program BK yang sistemik dilakukan dengan tujuan jangka panjang membentuk lingkungan perkembangan yang seluas mungkin.
5
4 Pemikiran tentang Konsep program Bimbingan komprehensif semacam ini diadopsi oleh penulis dari ‘Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000) dan ‘Comprehensive Counseling and Guidance State Model for Alabama Public School’ (2003).
2.1.2. Kebijakan Pendidikan Terintegrasi: Syarat Bagi Pengembangan Program BK Komprehensif
Program BK komprehensif (yang sistemik) membutuhkan kebijakan pendidikan di sekolah yang integratif, yaitu adanya keselarasan antara kebijakan dalam bidang pengajaran, bimbingan, pelatihan, kegiatan ekstrakurikular, kebijakan keuangan-sarana-prasarana, personalia, dll.. Program BK Komprehensif membutuhkan dukungan sekolah (dengan payung kebijakan) yang adil dan setara sehingga sekolah memberikan perhatian memadai dan setara kepada semua unsur yang penting bagi jalannya proses pendidikan. Dukungan finansial memadai, fasilitas memadai, pemberian waktu yang memadai untuk pembimbingan, pengajaran, dan kegiatan pendidikan lain di sekolah adalah bukti kebijakan pendidikan yang integratif di sebuah lembaga pendidkan.
Selain sebagai prasyarat, Kebijakan pendidikan yang terintegrasi juga (dapat) merupakan dampak dari Program BK Komprehensif yang terbukti kualitasnya. Kualitas program BK, hasil dan dampaknya yang positif akan melahirkan kepercayaan masyarakat sekolah (dewan guru, administrator sekolah, siswa-siswi, orang tua, komite sekolah). Kepercayaan masyarakat sekolah yang besar akan melahirkan dukungan optimal bagi program BK tersebut, sehingga program BK menjadi semakin komprehensif (lihat Figur 1).
Program BK komprehensif dirancang menjadi bagian integral dari proses pendidikan di sekolah4. Integrasi antara program BK dan keseluruhan program pendidikan di sekolah yang bertujuan mengembangkan aspek intelektual, dan skill diharapkan akan memberi pengaruh pada pembentukan kompetensi peserta didik yang lebih utuh. Integrasi semacam ini Kebijakan Pendidikan Terintegrasi Manajemen Program BK Komprehensif Akuntabilitas Program BK dan Hasil yang Berkuaitas Kepercayaan Masyarakat Sekolah terhadap BK Figur 1. Hubungan Timbal Balik Kebijakan Pendidikan Terintegrasi dan Program BK Komprehensif
6
5 Terdapat perbedaan penempatan program-program bimbingan bagi orang tua: ‘Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000) menempatkan parent education program menjadi bagian dari System Support Component sementara ‘Comprehensive Counseling and Guidance State Model for Alabama Public School’ (2003) menampatkannya sebagai bagian dari ‘guidance curriculum’.
membutuhkan kesamaan visi lembaga pendidikan dan semua komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, sehingga proses pendidikan (dan bimbingan) yang kolaboratif dapat diciptakan.
Program pendidikan yang terintegrasi nampak dalam pemberian perhatian yang seimbang terhadap tiga aktivitas penting dalam pendidikan di sekolah, yaitu Bimbingan dan Konseling yang memusatkan perhatian pada perkembangan aspek afektif-emosional, Pengajaran yang memusatkan perhatian pada perkembangan aspek perkembangan intelektual, dan kegiatan pendidikan lain yang menaruh perhatian pada pengembangan keterampilan. Perhatian yang seimbang pada 3 ranah pendidikan di sekolah ini tertuang dalam berbagai kebijakan sekolah yang memberikan porsi waktu yang relatif memadai pada tiga bidang tersebut di atas, dukungan finansial, dukungan pengembangan personil, dukungan penataan hubungan antar personil dan antar bimbingan-pengajaran-pelatihan yang harmonis.
2.2. Komponen Program BK Komprehensif
Program Bimbingan Komprehensif terdiri dari empat komponen penting:
(a) Kurikulum Bimbingan (School Guidance Curriculum): semua kegiatan bimbingan terprogram yang diselenggarakan dalam bentuk kegiatan kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas) bagi siswa dan pihak lain, misalnya program pendidikan keorangtuaan (Parent Education Program, parent workshop and instruction)5. Kurikulum bimbingan ini berupa layanan yang bertahap di berbagai jenjang pendidikan, sehingga perhatian pada fungsi developmental dapat terjaga. Kegiatan-kegiatan terprogram ini berpusat pada fungsi developmental dalam bidang perkembangan personal, sosial, akademik, dan karier.
(b) Perencanaan individual (Individual Students Planning): semua aktivitas yang dipusatkan untuk membantu siswa mengembangkan, menganalisa perencanaan-perencanaan karier, studi, pengembangan diri personal dan sosial. Beberapa peran konselor yang terkait dengan komponen ini adalah membantu dalam appraisal/asesmen diri dan lingkungan, penempatan, memberi saran, pertemuan kelompok dan Konseling individual yang berisi proses membantu perencanaan.
(c) Pelayanan Responsif (Responsive Services): adalah pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa dan stakeholder lain yang membutuhkan
7
6 Komponen program Bimbingan komprehensif semacam ini diadopsi oleh penulis dari ‘Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000). Rekomendasi tersebut ditawarkan oleh American School Counseling Association (ASCA). Bagi program Bimbingan dan Konseling di Indonesia hanya dijadikan acuan yang harus disesuaikan dengan kondisi lokal sekolah-sekolah di Indonesia.
penanganan segera (immediate needs). Beberapa bentuk layanan responsive antara lain: Konseling individual maupun kelompok, penyebaran informasi, penanganan krisis, konsultasi dan/atau referral.
(d) Sistem Pendukung (Support System): Peran-peran manajemen program dari pembuatan program, menjamin implementasi (maintain and control), evaluasi, studi tindak lanjut dan pengembangan program, hubungan masyarakat (public relation) untuk memasyarakatkan program bimbingan dan Konseling komprehensif, dan penjangkauan komunitas (Community Outreach) adalah bagian penting dari support system.
Empat komponen tersebut harus dilaksanakan dengan proposi tertentu. Berikut ini proporsi perhatian dan waktu yang harus dialokasikan untuk implementasi komponen-komponen program bimbingan dan Konseling komprehsnif yang rekomendasikan oleh ASCA.6
Komponen Program (Program Componen) Sekolah Dasar (elementary School) Sekolah Menengah Pertama (Middle school) Sekolah Menengah Atas (High School)
Kurikulum Bimbingan (Guidance Curriculum) 35-45% 25-35% 15-25%
Perencanaan Individu (Individual Planning) 10-30% 15-25% 25-35%
Layanan Responsif (Responsive Services) 30-40% 30-40% 25-35%
Sistem pendukung (System Support) 10-15% 10-15% 10-20%
Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik. Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbagn dengan kepribadian yang berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling.
1. KUALITAS KONSELOR
Karakteristik kualitas seorang kosnelor yang terkait dengan keefektifan konseling, memiliki :
a) Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (self knowladge)
Pengetahuan diri sendiri mempunyai makna bahwa konselor mengetahui secara baik tentang dirinya. Self knowladge penting karena :
1) Mengetahui persepsi dirinya dengan baik cenderung untuk mengetahui persepsi diri klien yang sedang dibantu.
2) Keterampilan konselor untuk memahami dirinya adalah keterampilan yang sama untuk memahami diri klien.
3) Konselor yagn telah memiliki keterampilan yang digunakan untuk memahami dirinya memungkinkan kosnelor dapat mengaarkannya kepada klien.
4) Pengetahuan diri sendiri memungkinkan konselor merasakan dan berkomunikasi secara baik dengan klien dalam konseling.
Kualitas konselor yang tinggi tingkat engetahuannya terhadap diri sendiri, menunjukan karakteristik sebagai berikut :
Menyadari kebutuhannya
Menyadari perasaannya
Menyadari apa yang membuat cemas selama konseling, dan cara yagn harus dilakukan untuk mengurangi kecemasan itu.
Menyadari kelebihan dan kekurangan
b) Kompetensi (competence)
Kompetensi mempunyai makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. Peranan seorang konselor adalah untuk mengajarkan semua kompetensi ini kepada klien. Oleh karena itu makin banyak kompetensi yang dimiliki, maka makin besar kemungkinan konselor dapat membantu klien baik secara langsung dan tidak langsung dalam memperoleh kopetensi hidup. Seorang konselor senantiasa berusaha menjadi lebih kompeten memiliki ciri-ciri :
Secara berkelanjutan senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan tentang perilaku dan konseling.
Senantiasa mencari pengalaman-pengalaman hidup yang baru yang dapat membantunya meningkatkan kompetensi dan mempertajam keterampilannya.
Senantiasa mencoba berbagai gagasan dan pendekatan dalam konseling.
Senantiasa melakukan penilaian dalam setiap langkah konseling untuk mencapai keefektifan konseling.
c) Kesehatan psikologis yang baik
Kesehatan psikologis yang baik seorang konselor akan mendasari pemahaman perilaku dan keterampilan dan pada gilirannya akan mengambangkan satu daya positif dalam konseling. Karakteristik konselor yang memiliki kesehatan psikologi yang baik antara lain :
Mencapai pemuasan kebutuhannya
Tidak membawa pengalaman masa lalu dan masalah pribaddi di luar konseling ke dalam koneseling.
Menyadari titik penyimpangan dan kelemahan yang dapat membantu mengenal situasi yang terkait dengan masalah.
Tidak hanya mencapai kelestarian hidup, tetapi mencapai kehidupan dalam kondisi yang baik.
d) Dapat dipercaya (trustworthness)
Dapat dipercaya mempunyai makna bahwa konselor buka nsebagai satu ancaman bagi klien akan tetapi sebagai pihak yang emmberikan rasa aman. Alasan pentingnya konselor dapat dipercaya :
1) Kepercayaan terhadap konelor dieprlukan dalam mencapai tujuan essensial konseling.
2) Untuk memberikan jaminan kerahasiaan klien dalam konseling.
3) Klien membutuhkan keyaknan untuk motivasi dan watak konselor.
4) Pengalaman klien terhadap konsistensi, penerimaan, dan kerahasiaan konselor, akan membantu klien dalam mengembangkan rasa percaya yang lebih mendalam
Konselor yang dapat dipercaya memiliki kualitas sebagai berikut :
Dapat dipercaya dan konsisten seperti menempati janji.
Baik secara verbal maupun non-verbal menyatakan kerahasiaan kepada klien.
Membuat klien tidak menyesal membuka rahasia dirinya.
Bertanggungjawawab terhadap semua yang diucapkannya.
e) Kejujuran (Honest)
Kejujuran mutlak mempunyai makna bahwa seorang konselor harus terbuka, otentik, dan sejati dalam penampilannya. Kejujuran sangat penting karena :
1) Transparasi atau keterbukaan memudahkan konselor dan kliennya berinteraksi dalam suasana keakraban psikologis.
2) Kejujuran memungkinkan konselor untuk memberikan umpan balik yang belum diperhalus.
3) Kejujuran konselor merupakan ajakan sejati kepada klien untuk menjadi jujur.
4) Konselor dapat menjadi model bagaimana menjadi manusia jujur dengan cara-cara konstruktif.
Konselor yang benar-benar jujur memiliki kualitas :
Memiliki kongruesi (kesesuaian) antara kualitas diri dengan penilaian pihak lain terhadap dirinya.
Menyatakan bahwa kejujuran dapat menimbulkan kecemasan klien dan mempersiapkan untuk menghadapinya.
Memiliki pemahaman yang jelas dan beralasan terhadap makna kejujuran.
Mengenal pentingnya menghubungkan kejujuran positif dan kejujuran negatif.
f) Kekuatan atau Daya (Stregth)
Kekutan konselor mempunyai peranan yang oenting dalam konseling karena memungkinkan klien merasa aman dalam konseling. Konselor dengan kekuatan yang baik memiliki kualitas sebagai berikut :
Mampu mentapkan batasan yang beralasan dan mematuhinya untuk menetapkan hubungan yang baik dan menggunakan waktu dan tenaga secara efisien.
Dapat mengatakan sesuatu yang sulit dan membuat keputusan yang tidak populer.
Fleksibel dalam melakukan pendekatan dalam konseling.
Dapat tetap menjaga jarak dengan klien, untuk tidak terbawa emosi yang timbul dalam waktu konseling.
g) Kehangatan (Warmth)
Kehangatan mempunyai makna sebagai satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain. Kehangatan diperlukan dalam konseling karena :
1) Dapat mencairkan kebekuan suasana.
2) Mengundang untuk berbagi pengalaman emosional.
3) Memungkinkan klien menjadi hangat dengan dirinya sendiri.
Konseor yang memiliki kehangatan, menunjukan kualitas sebgai berikut :
Mendapat kehangatan yang cukup dalam kehidupan pribadinya.
Dapat membedakan kehangatan dan kelembaban.
Tidak menakutkan dan membiarkan orang merasa nyaman dengan kehadirannya.
Memiliki sentuhan manusiawi yang mendalam terhadap kemanusiaannya.
h) Pendengar yang aktif
Menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangat penting karena :
1) Menunjukan dengan penuh kepedulian.
2) Merangsang dan memberanikan klien untuk beraksi secara spontan terhadap konselor.
3) Menimbulkan situasi yang mengajarkan.
4) Klien membutuhkan gagasan-gagasan baru.
konselor sebagai pendengar yang baik memiliki kualitas sebagai berikut :
Mampu berhubungan dengan orang-orang dari kalangan sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide perasaan, dan masalah yang sebenarnya bukan masalahnya.
Menantang klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu.
Memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna.
Keinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
i) Kesabaran
Dalam konseling, konselor dapat membiarkan situasi-situasi berkembang secara alami, tanp memasukan gagasan-gagasan pribadi, perasaan, atau nilai-nilai secara prematur. Konselor yagn sabar memiliki kualitas sebagai berikut :
Memilik toleransi terhadap ambiguitas.
Mampu berdampingan dengan klien dan membiarkanya untuk mengikuti arahnya sendiri meskipun mungkin konselor mengetahui ada jalan yang lebih singkat.
Tidak takut akan pemborosan waktu dalam minatnya terhadap pertumbuhan klien.
Dapat mempertahankan tilikan dan pertanyaan yang akan disampaikan dalam sesi dan digunakan kemudian.
j) Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Konselor yang memiliki kepekaan menunjukan :
Peka terhadap reaksi dirinya sendiri.
Mengetahui bagaimana, dimana, dan berapa lama melkukan penelusuran klien.
Mengajukan pertanyaan dan mengaitkan informasi yang dipandang mengancam oleh klien degan cara-cara yang arif.
Peka terhadap hal-hal yang mudah tersentuh dalam dirinya.
k) Kebesan
Konselor yagn mimiliki kebebasan mampu memberikan pengaruh secara signifikan dalam kehidupan klien, smabil meninggalkan kebebasan klien untuk menolak pengaruh itu. kebeasan konselor nampak dalam kualitas sebagai berikut :
Menempatkan nilai tinggi terhadap kebebasan dalam hidupnya.
Dapat membedakan antara manipulasi dan edukasi dalam konseling.
Memahami perbedaan antara kebebasan yang dangkal dengan yagn sesungguhnya.
Mencoba dan mengahargai kebebasan yang benar dalam hubungan konseling.
l) Kesadaran Holistik atau Utuh
Pendekatan holistik dalam konseling mempunyai makna bahwa konselor menyadari keseluruhan orang (klien) dan tidak mendekatinya dengan meneropong dari satu aspek tertentu saja. Konselor yang memiliki kesadaran holistik yang ditandai dengan kualitas :
Sangat menyadari akan dimensi kepribadian dan kompleksitas keterkaitannya.
Mencari konsultasi secara tepat dan membuat rujukan secara cerdas.
Sangat akrab dan terbuka terhadap berbagai teori tentang prilaku dan bahkan mungkin memiliki teori tersendiri.
2. HAL-HAL YANG HARUS DIEPERHATIKAN OLEH KONSELOR PEMULA
Beberap[a hal yang harus diperhatikan oleh konselor pemula agar menjadi kompetensi antara lain :
1) Kesehatan psiokologis
2) Merugikan klien
3) Tanggung jawab konselor
4) Kepedulian danpenerimaan
5) Kurang pengalaman
6) Kegagalan
7) Kesulitan tersembunyi
3. KEARIFAN SEBAGAI SATU KUALIATAS KEPRIBADIAN KONSELOR
Dalam perkembagan terkini, disamping karakteristik sebgaimana dikemukakan diatas, para pakar mengemukakan bahwa kearifan merupakan satu fundamental kepribadian konselor effektif. Kearifan dapat didefiniskan sebagai satu perangkat ciri-cri kognitif dan affektif tertentu yang secara langsung terkait pada pemilikan dan perkembangan keterampilan dan pemahaman hidup yang diperlukan untuk kehidupan yang baik, pemenuhan, penyesuaianyang effektif, dan tilikan kepada hakekat diri, orang lain, lingkungan, dan interaksi antar pribadi.
Bimbingan dan Konseling dalam perjalanannya masih banyak menghadapi beberapa hambatan dan problematika. Bimbingan Konseling masih jalan tersendat-sendat dalam pelaksanaanya, baik itu dalam lingkup sekolah, masyarakat, kerja ataupun organisasi.
Hambatan dan problematika itu sendiri sebenarnya bukan disebabkan faktor eksternal tetapi pada dasarnya bersumber dari faktor internal. Bimbingan dan konseling hingga kini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pandangan ini timbul disebabkan karena memang kurangnya profesionalitas dan dedikasi yang tinggi dari orang-orang menekuni bidang bimbingan dan konseling.
A. Problematika Eksternal (Masyarakat)
Problematika dalam pelaksanaan BK di masyarakat pada dasarnya disebabkan karena adanya pandangan yang keliru dari masyarakat. Pandangan yang keliru tersebut antara lain :
1. Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi, serta pengalaman-pengalaman.
“Sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja kepada kita adalah orang yang kuat lagi terpercaya.” (QS Al Qashash: 26)
“Apabila suatu urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (Shahih Bukhari, kitab Ar-Riqaq, Bab Raf’il Amanah 11: 333)
2. Bimbingan dan Konseling hanya untuk orang yang bermasalah saja
Sebagian orang berpandangan bahwa BK itu ada karena adanya masalah, jika tidak ada maka BK tidak diperlukan, dan BK itu diperlukan untuk membantu menyelesaikan masalah saja.
Memang tidak dipungkiri bahwa salah satu tugas utama bimbingan dan konseling adalah untuk membantu dalam menyelesaikan masalah. Tetapi sebenarnya juga peranan BK itu sendiri adalah melakukan tindakan preventif agar masalah tidak timbul dan antisipasi agar ketika masalah yang sewaktu-waktu datang tidak berkembang menjadi masalah yang besar.
Kita pastinya tahu semboyan yang berbunyi “Mencegah itu lebih baik daripada mengobati”.
3. Keberhasilan layanan BK tergantung kepada sarana dan prasarana
Sering kali kita temukan pandangan bahwa kehandalan dan kehebatan seorang konselor itu disebabkan dari ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan mutakhir. Seorang konselor yang dinilai tidak bagus kinerjanya, seringkali berdalih dengan alasan bahwa ia kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang bagus. Sebaliknya pihak konseli pun terkadang juga terjebak dalam asumsi bahwa konselor yang hebat itu terlihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki konselor.
Pada hakikatnya kehebatan konselor itu dinilai bukan dari faktor luarnya, tetapi lebih kepada faktor kepribadian konselor itu sendiri, termasuk didalamnya pemahaman agama, tingkah laku sehari-hari, pergaulan dan gaya hidup.
4. Konselor harus aktif, sedangkan konseli harus/boleh pasif
Sering kita temukan bahwa konseli sering menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalahnya kepada konselor, mereka menganggap bahwa memang itulah kewajiban konselor, terlebih lagi jika dalam pelayanan Bk tersebut konseli harus membayar. Hal ini terjadi sebenarnya juga disebabkan karena tak jarang konselor yang membuat konseli itu menjadi sangat berketergantungan dengan konselor. Konselor terkadang mencitrakan dirinya sebagai pemecah masalah yang handal dan dapat dipercaya. Konselor seperti ini biasanya berorientasi pada ekonomi bukan pengabdian. Tak jarang juga konselor yang enggan melepaskan konselinya, sehingga dia merekayasa untuk memperlambat proses penyelesaian masalah, karena tentunya jika tiap pertemuan konseli harus membayar maka akan semakin banyak keuntungan yang diperoleh konselor.
5. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat
Seringkali konseli (orangtua/keluarga konseli) yang berekonomi tinggi memaksakan kehendak kepada konselor untuk dapat menyelesaikan masalahnya secepat mungkin tak peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Tidak jarang konselor sendiri secara tidak sadar atau sadar (karena ada faktor tertentu) menyanggupi keinginan konseli yang seperti ini, biasanya konselor ini meminta kompensasi dengan bayaran yang tinggi. Yang lebih parah justru kadang ada konselor itu sendiri yang mempromosikan dirinya sebagai konselor yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan cepat.
Pada dasarnya yang mampu menganalisa besar/kecil nya masalah dan cepat/lambat nya penanganan masalah adalah konselor itu sendiri, karena konselor tentunya memahami landasan dan kerangka teoritik BK serta mempunyai pengalaman dalam penanganan masalah yang sejenisnya.
B. Problematika Internal (Konselor)
Masalah yang timbul diluar sebenarnya berasal dari para konselor itu sendiri, pandangan para konselor yang salah akan BK menyebabkan mereka salah langkah dalam memberikan pelayana BK. Pandangan yang salah tersebut antara lain :
1. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah. Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, dan modifikasi perilaku.
2. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Walau mungkin masalah yang dihadapi konseli sejenis atau sama tetapi tetap saja tidak bisa disamaratakan dalam penyelesaiannya. Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.
Harus difahami bahwa setiap manusia itu berbeda dalam kepribadian dan kemampuannya. sehingga dalam penyelesaian masalah harus disesuaikan dengan keadaan konseli itu sendiri. Bahkan jika seorang konselor ingin mengadopsi cara/yeknik penyelesaian dari konselor lain, maka harus disesuaikan juga dengan kemampuan konselor itu sendiri (yang mengadopsi).
3. Bimbingan dan Konseling mampu bekerja sendiri
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien.
Namun demikian, konselor tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor harus terlebih dahulu mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain.
4. Bimbingan dan Konseling dianggap sebagai proses pemberian nasihat semata
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
Misalkan, ada konseli yang suka mabuk, pelayanan bimbingan dan konseling hanya berkutat pada penekanan/nasihat bahwa mabuk itu tidak baik. Seharusnya pelayanan yang diberikan adalah menggali faktor-faktor luar yang menyebabkan konseli tersebut menjadi suka mabuk.
C. Problematika Dalam Dunia Pendidikan
Problematika utama dalam peaksanaan BK di dunia pendidikan, juga tidak jauh karena adanya kekeliruan pandangan, berikut ini kekeliruan-kekeliruan tersebut :
1. Bimbingan dan Konseling hanya pelengkap kegiatan pendidikan
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling itu hanyalah pelengkap dalam pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.
Kendati begitu bukan berarti BK dan pendidikan harus dipisahkan, pada hakikatnya dua unsur ini saling membutuhkan dan saling melengkapi. Bimbingan dan konseling memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan, yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaannya hanya terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda.
2. Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah “polisi sekolah”
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah”. Hal ini disebabkan karena seringkali pihak sekolah menyerahkan sepenuhnya masalah pelanggaran kedisiplinan dan peraturan sekolah lainnya kepada guru BK. Bahkan banyak guru BK yang diberi wewenang sebagai eksekutor bagi siswa yang bermasalah. Sehingga banyak sekali kita temukan di sekolah-sekolah yang menganggap guru Bk sebagai guru “killer” (yang ditakuti). Guru (BK) itu bukan untuk ditakuti tetapi untuk disegani, dicintai dan diteladani.
Jika kita menganalogikan dengan dunia hukum, konselor harus mampu berperan sebagai pengacara, yang bertindak sebagai sahabat kepercayaan, tempat mencurahkan isi hati dan pikiran. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan. Kendati demikian, konselor juga tidak bisa membela/melindungi siswa yang memang jelas bermasalah, tetapi konselor boleh menjadi jaminan untuk penangguhan hukuman/pe-maaf-an bagi konselinya. Yang salah tetaplah salah tetapi hukuman boleh saja tidak diberikan, bergantung kepada besar kecilnya masalah itu sendiri.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja
Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
Kesimpulan
Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan BK saat ini pada awalnya disebabkan dari pihak-pihak penyelenggara BK itu sendiri. Kurangnya profesionalitas dan dedikasi yang tinggi dari para ahli BK menyebabkan BK menjadi kurang dihargai di masyarakat. BK dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Hingga kehadiran BK dianggap sebagai suatu yang biasa saja atau bahkan sia-sia belaka.
Masalah utama yang dihadapi BK saat ini adalah timbulnya persepsi-persepsi keliru/salah beberapa kalangan akan arti dan hakikat bimbingan dan konseling. Langkah utama selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk merubah persepsi-persepsi kalangan tersebut agar sesuai hakikat bimbingan dan konseling itu sendiri. Hal ini tentunya dengan cara pemberian materi yang lebih baik kepada konselor agar para konselor benar-benar memahami hakikat dari BK itu sendiri, yang kemudian ditindak lanjuti dengan sosialisasi kepada masyarakat.
Jika pandangan masyarakat sudah berubah akan BK, maka tentunya pelaksanaan BK akan semakin mudah, bahkan justru dianggap sebagai salah satu kebutuhan utama, yang keberadaannya benar-benar menjadi vital dalam suatu lingkungan (sekolah, dunia kerja, organisasi dan masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
•Al Quranul Karim
•Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
• _______, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas
•Sunayo Kartadinata.“Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”.Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20
• Andi Mappiare AT. 2002. Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta : Raja Grafindo Persada
• H. M. Umar, Drs. Sartono, Drs. 1998. Bimbingan dan Penyuluhan, Bandung : CV. Pustaka
CIRI-CIRI PROGRAM BIMBINGAN YANG EFEKTIF*)
TRIYONO
Hal yang wajar saja kalau konselor, guru, kepala sekolah menandai bahwa, “sekolah X memiliki program bimbingan yang lebih baik ketimbang sekolah Y,” atau “sekolah itu memiliki layanan bimbingan yang baik”. Apakah dasar memberi predikat seperti itu? Pendeskripsian sekolah “baik” yang pas bergantung pada evaluasi terhadap sekolah tersebut. Kita harus mengenali ciri-ciri pokok dari sekolah baik tersebut.
Ciri-ciri evaluatif eksternal
1. Rasio konselor : siswa adalah seorang konselor full-time menangani 250 – 300 siswa.
2. Konselor minimal berpendidikan sarjana S1 bimbingan dan konseling.
3. Catatan-catatan tentang siswa tersedia dan dapat digunakan dengan segera, sehingga memungkinkan guru dan konselor memahami dan membantu mereka. Catatan tersebut tidak hanya digunakan untuk studi demografi, melainkan juga untuk (1) membantu siswa dalam memperoleh pemahaman diri sehingga mereka dapat mengambil suatu keputusan secara tepat, (2) memudahkan guru, konselor, dan orangtua memahami siswa, sehingga program pendidikan dapat diadaptasikan dengan kebutuhan setiap anak dan sesuai dengan perkembangan mereka masing-masing.
4. Material-material informasional harus tersedia dan dapat di-acess. Hal ini berarti bahwa material yang up-to-date harus tersedia yang menggambarkan adanya ciri-ciri perubahan mutakhir dari kesempatan pendidikan dan jabatan.
5. Data hasil pengukuran tentang anak harus tersedia dan digunakan oleh personil sekolah untuk membantu anak sehubungan dengan penyesuaian, perencanaan dan perkembangan mereka secara individual.
6. Personil harus berorientasikan pada evaluasi diri dan pengalaman.
7. Program bimbingan yang efektif tidak dimaksudkan untuk satu tingkatan kelas atau satu tingkatan sekolah saja, melainkan untuk keseluruhan perkembangan karier anak secara individual.
8. Fasilitas fisik yang memadai tersedia bagi bimbingan.
9. Adanya dukungan finansial yang memadai. Berapakah yang ideal? Tahun 80-an, di Amerika sekitar $125 sampai $150 per anak per tahun (proyeksikan untuk Indonesia sekarang).
Ciri-ciri evaluatif internal
1. Program bimbingan dihargai oleh orang lain atas dasar kebutuhan anak. Sukses atau gagalkah program bimbingan memenuhi kebutuhan anak? Kebutuhan diartikan sebagai keadaan kurang sesuatu yang diperlukan untuk kesejahteraan organisme atau untuk memudahkan orang bertingkahlaku.
2. Program bimbingan melaksanakan fungsi-fungsi korektif, preventif, dan developmental secara seimbang.
3. Kualitas program merupakan sesuatu yang berarah-tujuan. Komponen program, konseling misalnya, tidak berhenti pada konseling itu sendiri, tetapi harus dapat ditarik benang merahnya menuju ke arah sasaran utama. Begitu juga dengan komponen program lainnya.
4. Keseimbangan merupakan kualitas esensial dari program bimbingan yang baik. Program bimbingan yang efektif harus dapat menjaga dari kemungkinan timbulnya ketidakseimbangan yang seringkali ditemukan dalam program yang tidak efektif yang disebabkan oleh (1) personil yang hanya tertarik ke satu program saja, (2) personil yang mencoba untuk menarik keuntungan bagi dirinya sendiri, (3) pertumbuhan yang cepat dari program.
5. Stabilitas program –kemampuan untuk menyesuaikan kekurangan personil tanpa mengalami kekurangan efektivitas— secara langsung berhubungan dengan kualitas program.
6. Organisasi yang fleksibel.
7. Staf yang memiliki pengakuan dan penghargaan yang tinggi secara moral dan dapat bekerjasama dengan baik.
8. Personil yang baik menghindari jawaban yang cepat dan menghadapi realita bahwa bimbingan memiliki kawasan kerja yang luas.
9. Konselor memahami peran dan fungsinya secara tepat
10. Siswa tidak memandang remeh terhadap konselor sekolah.
11. Program bimbingan dibawah kepemimpinan seorang yang telah dipersiapkan dengan matang.
12. Profil Manajemen Bimbingan dan Konseling
13. Sekolah Menengah Atas (SMA) Rekanan Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma (Prodi BK USD) di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2006
14. Fajar Santoadi1
15. ABSTRAK
16. Penelitian ini dilakukan dengan dua landasan pemikiran (a) model manajemen bimbingan dan konseling yang berkembang di SMA rekanan Prodi BK USD dewasa ini, (b) kebutuhan akan dukungan managerial bagi program BK komprehensif.
17. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan profil manajemen BK di SMA rekanan Prodi BK USD. Instrumen penggali data penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan Focus Group Discussion (FGDs).
18. Peneliti menemukan hal positif dan negative melalui penelitian ini. Hal positif tersebut adalah (1) rasio konselor-siswa relatif memadai, (2) kebanyakan konselor sekolah menggunakan berbagai metode asesmen kebutuhan, (3) Sebagian SMA rekanan Prodi BK USD menyelenggarakan layanan bimbingan kelompok bagi semua siswa, (4) semua SMA rekanan Prodi BK USD menyediakan layanan konseling individual, (5) setiap SMA rekanan Prodi BK USD menggunakan berbagai metode untuk mengontrol pelaksanaan program BK, (6) setiap SMA rekanan Prodi BK USD memberikan informasi tentang program BK kepada siswa, guru, dan orang tua, (7) setiap SMA rekanan Prodi BK USD menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam menyediakan layanan BK. Hal-hal negatif yang ditemukan adalah (1) Profesionalitas mayoritas staf bimbingan di SMA rekanan Prodi BK USD kurang memadai, (2) Terdapat sedikit SMA rekanan Prodi BK USD yang tidak melakukan asesmen kebutuhan, (3) Sebagian SMA rekanan Prodi BK USD hanya menyediakan layanan bimbingan kelompok tak teratur kepada siswa di kelas tertentu, (4) Kebanyakan SMA rekanan Prodi BK USD menyediakan layanan bimbingan kelompok yang tidak berkesinambungan, (5) Kebanyakan SMA rekanan Prodi BK USD melakukan evaluasi program BK dengan metode tidak ilmiah, (6) layanan BK bagi keluarga siswa tidak memadai untuk menciptakan lingkungan yang suportif bagi siswa.
19. Peneliti mengusulkan dua hal sebagai berikut: (1) Peningkatan kompetensi konselor dalam teori BK perkembangan, manajemen BK komprehensif, keterampilan mengelola konseling kelompok, metode penelitian dan evaluasi, merancang program pendidikan keorangtuaan, (2) Peningkatan pengetahuan pimpinan sekolah dalam manajemen BK Komprehensif yang akan membuat mereka mampu menciptakan iklim sekolah yang mendukung program BK.
20. Kata Kunci :
21. Manajemen bimbingan dan konseling komprehensif, paradigma diagram ven empat bidang bimbingan, paradigma empat bidang bimbingan berurutan.
22. 1 Fajar Santoadi, S.Pd, dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
23. 1
24. 1. PENDAHULUAN
25. 1.1. Latar Belakang Masalah :
26. 1.1.1. Kondisi aktual Manajemen BK
27. Bimbingan dan Konseling (BK) di banyak sekolah di DIY tidak mendapatkan jam khusus untuk Layanan Bimbingan Kelompok/Klasikal. Bimbingan Kelompok/Klasikal hanya dapat dilakukan bila ada guru mata pelajaran tertentu yang berhalangan hadir atau dengan ‘suka rela’ memberikan jam pelajaran kepada konselor sekolah untuk bimbingan kelompok klasikal. Bimbingan Kelompok/Klasikal untuk siswa kelas III (SMP maupun SMA) di banyak sekolah ditiadakan dengan alasan, persiapan Ujian Nasional (UN) di tahun terakhir masa studi SMP dan SMA amat penting. Ini adalah alasan situasional yang bertentangan dengan prinsip pendidikan yang utuh. Asumsi bahwa pada tahun terakhir siswa SMP dan SMA tidak membutuhkan hal lain selain persiapan UN yang bernuansa akademis belaka, adalah asumsi yang sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan utuh.
28. Beberapa kondisi (sekaligus menjadi penyebab) yang diduga melatarbelakangi kebijakan sekolah di atas antara lain (a) Fokus utama sekolah adalah pengembangan kompetensi akademis-kognitif belaka. Meskipun hal ini akan sulit diakui secara jujur, namun peniadaan jam bimbingan kelompok klasikal adalah bentuk nyata pemusatan perhatian sekolah hanya pada aspek akademik saja, (b) Penentu kebijakan pendidikan di tingkat sekolah memahami BK hanya berupa pertemuan individual (konseling) saja dan terutama berfungi dalam mengatasi persoalan-persoalan siswa-siswi (fungsi kuratif), (c) BK sebagai bagian dari sekolah belum dapat membuktikan unjuk kerja yang berkualitas. Tiadanya program BK berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan, membuat siswa, pengelola sekolah, dan stake holder lain sulit memberi kepercayaan kepada BK. Yang dianggap program selama ini adalah semacam daftar aktivitas (dapat mengacu pada pola 17 atau pola-pola yang lain), tetapi tidak menonjolkan isi yang akan ‘digarap’, untuk mengembangkan aspek afektif, nilai, sikap, dan perilaku positif siswa. Pola 17 yang sering dipajang di ruang BK sebenarnya hanyalah ‘bungkus’ yang belum menampakkan ‘isi’. Ketidakmampuan BK di sekolah membuktikan unjuk kerja yang berkualitas dan ketidak percayaan administrator dan seluruh staff kependidikan di sekolah menjadi lingkaran sebab akibat yang harus diurai akarnya sehinngga langkah pemecahan dapat dirumuskan. (d) Evaluasi program BK dengan metode ilmiah sekolah belum berkembang. Gysbers dan Handerson (2006) menunjukkan bahwa evaluasi dalam BK di sekolah mencakup tiga jenis evaluasi yaitu evaluasi kinerja konselor (Counselor performance evaluation), evaluasi kinerja konselor (Counselor performance evaluation), dan evaluasi hasil (result evaluation). Evaluasi kinerja konselor memusatkan perhatian pada penilaian unjuk kerja
29. 2
30. konselor dan kemampuan membawakan diri sebagai konselor. Evaluasi program (program evaluation) memusatkan perhatian pada penilaian mutu pelaksanaan program BK yang sudah dirancang. Evaluasi hasil (result evaluation) memusatkan perhatian pada penilaian atas hasil dan dampak program BK (outcomes and impact).
31. Kebijakan meniadakan jam bimbingan kelompok/klasikal mengakibatkan fungsi developmental (pengembangan kemampuan-kemampuan siswa), fungsi pencegahan, dan pemeliharaan (perseveratif) bimbingan dan Konseling dalam aspek perkembangan personal, edukasional, dan karier tidak dapat dijalankan secara utuh. Ketidakmengertian dan prasangka administrator sekolah bahwa BK dianggap membuang-buang waktu dan tidak memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan siswa mengakibatkan sulitnya memperoleh dukungan sekolah terhadap program BK.
32. 1.1.2. Kebutuhan akan Dukungan Manajerial
33. Visi BK yang realistis memang harus dikembangkan berdasarkan kondisi nyata peserta didik di setiap lembaga pendidikan. Meskipun sekarang ini manajemen berbasis sekolah menjadi acuan, tetapi ini bukan berarti pemerintah membiarkan manajemen sekolah tidak memberi ruang bagi pelayanan aspek-aspek non akademis (salah satu di antaranya adalah BK). Pemerintah (melalui Dinas Pendidikan) berperan menciptakan standar manajemen sekolah yang menjamin proses pendidikan dalam aspek akademis (bidang studi) dan non akademis (BK). Standar ini dapat menjaga keseimbang aspek akademiks dank on-akademiks di satu sisi dan keleluasaan bagi BK di sekolah untuk menyediakan layanan yang paling sesuai dengan kebutuhan siswa yang khas. Keseimbangan ini membutuhkan standar proses, misalnya aturan yang mengharuskan adanya pelayanan bimbingan kelompok/klasikal yang menjangkau semua siswa, dan semua stakeholder yang penting bagi siswa. BK di sekolah tidak terlalu membutuhkan standar isi sebab isi pelayanan BK berbasis kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah tertentu yang khas. Bahkan jika ada 'kurikulum BK' yang dirumuskan secara nasional, provinsi, atau wilayah yang lebih kecil, hal tersebut belum tentu selaras dengan kondisi dan latar belakang budaya peserta didik yang khas di sekolah.
34. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengharuskan sekolah mengalokasikan 2 jam pelajaran per minggu bagi mata pelajaran pengembangan diri. Sekolah yang sudah memiliki visi pendidikan yang seimbang, yang tidak semat-mata berorientasi akademis-kognitif, akan menanggapi tuntutan KTSP dengan memberi ruang yang luas bagi pengembangan nilai-nilai humaniora, sikap, perilaku (character building), termasuk peran konselor dalam pengembangan diri siswa.
35. 3
36. Masyarakat lebih menghargai prestasi akademis yang tinggi dari pada menaruh perhatian pada pembentukan nilai-nilai kemanusiaan. ‘Pasar’ semacam inilah yang seringkali menyeret sekolah-sekolah mengembangkan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang kontraproduktif bagi pembentukan karakter (character building). Peniadaan jam bimbingan kelompok klasikal bagi siswa-siswi di SMP dan SMA/K adalah bukti nyata kebijakan pendidikan di sekolah yang timpang. Bimbingan dan Konseling hanya dikenal sebagai interaksi di ruang Konseling belaka dan menangani peserta didik yang bermasalah saja. Padahal yang jauh lebih penting dan berdaya guna dalam jangka panjang adalah program BK yang bernuansa developmental, preventif, dan perseveratif (pemeliharaan kondisi positif yang sudah terbentuk). Visi BK komprehensif membutuhkan dukungan manajemen pendidikan di tingkat sekolah.
37. Studi ini dilakukan dengan fungsi ganda yaitu: (a) dari sudut pandang peneliti, penelitian ini dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran atau profil manajemen BK di sekolah-sekolah menengah (b) dari sudut pandang sekolah, penelitian ini dapat dipandang sebagai evaluasi manajemen program BK di SMA rekanan Prodi BK USD. (c) Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dikembangkan menjadi instrument evaluasi manajemen program BK yang dapat dipakai oleh setiap sekolah untuk mengevaluasi manajemen program BK di sekolah masing-masing dengan metode self-evaluation, atau semacam self directed search, tanpa mengandalkan evaluator dari luar sekolah.
38. 1.2. Rumusan Masalah :
39. Penelitian ini memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana profil manajemen BK di SMA rekanan Prodi BK USD di DIY.
40. 1.3. Tujuan Penelitian :
41. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang profil manajemen BK di SMA rekanan Prodi BK USD di DIY.
42. 2. TINJAUAN PUSTAKA
43. 2.1. Hakikat Manajemen BK Komprehensif
44. Definisi Program BK komprehensif sangat luas dan tidak dapat dengan mudah di rumuskan. Mengeksplorasi hakikat Program BK komprehensif berarti menelurusi beberapa pertanyaan berikut ini. Pertama, bagaimana hubungan program Bimbingan dengan sistem pendidikan di lembaga pendidikan tertentu? Kedua, bagaimana pengelolaan (manajemen) program BK agar sifat komprehensif-sistemik program BK nampak? Ketiga, apa saja ciri-ciri
45. 4
46. 2 Syetemic : affecting or relating to a system; Sistematic: done methodically, well organized (Microsoft Encarta World English Dictionary).
47. 3 Contoh program pendidikan keorangtuaan (disebut parent workshop and instruction) penulis temukan dalam Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000) dan Comprehensive Counseling and Guidance State Model for Alabama Public School (2003). Gibson (dalam Erford, 2004) juga menyebut layanan konsultasi bagi orang tua sebagai jembatan antara konselor dan siswa yang akan mempengaruhi kehidupan siswa. Barton dan Cicero (dalam Erford, 2004) mengungkapkan Family Fesource Centre dapat membantu konselor bekerja meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka.
48. program BK yang dapat dianggap komprehensif dan bersifat sistemik? Keempat, siapa saja yang terlibat dalam program BK komprehensif dan apa saja Keketerlibatan mereka? Kelima, apa saja hasil dan dampak yang diharapkan dari program BK komprehensif? Berikut ini adalah uraian tentang unsur-unsur yang terdapat dalam hakikat program BK Komprehensif.
49. 2.1.1. Sifat Sistemik dalam Program BK Komprehensif
50. Program BK Komprehensif bersifat sistemik, bukan sekedar program yang sistematis2. Program BK yang sistematik adalah program pelaksanaannya sesuai dengan rencana, tertata baik sejak perencanaan, pendataan, implementasi, dan evaluasi. Sementara program BK yang sistemik adalah program BK yang dirancang untuk menjangkau berbagai pihak, mulai dari siswa sebagai individu maupun kelompok, komunitas sekolah, keluarga, komunitas, dan masyarakat. Pendekatan sistemik dalam program BK komprehensif menempatkan individu sebagai pusat sistem dan menciptakan hubungan antar subsistem yang mempengaruhi individu ke arah perkembangan positif seperti sekolah, keluarga, komunitas, dan masyarakat (Erford, 2004).
51. Sifat sistemik Program BK Komprehensif nampak dalam beberapa hal berikut (a) asesmen yang dapat merumuskan kebutuhan siswa dan stake holder penting lain seperi orang tua, komunitas sebaya, para guru, administrator sekolah, dll. Program BK yang sistemik haruslah menjadi sebuah program yang data driven. (b) Layanan BK yang menjangkau siswa dan stake holder lain yang relevan seperti orang tua, komunitas asal siswa, komunitas sebaya, para guru, dan masyarakat sekolah secara umum, (c) Program BK Sistemik dapat melibatkan stake holder tidak saja sebagai penerima layanan, tetapi juga sebagai rekanan dalam memberi layanan yang relevan. Misalnya, dalam rangka menciptakan lingkungan keluarga asal yang sehat dan kondusif bagi tumbuh kembang siswa, komite sekolah dapat terlibat dalam mengorganisir kegiatan pendidikan keorangtuaan (parenting education)3, (d) Evaluasi proses, hasil (result), dan dampak (outcome, impact) yang menjangkau siswa dan stake holder tersebut di atas. Program BK yang sistemik dilakukan dengan tujuan jangka panjang membentuk lingkungan perkembangan yang seluas mungkin.
52. 5
53. 4 Pemikiran tentang Konsep program Bimbingan komprehensif semacam ini diadopsi oleh penulis dari ‘Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000) dan ‘Comprehensive Counseling and Guidance State Model for Alabama Public School’ (2003).
54. 2.1.2. Kebijakan Pendidikan Terintegrasi: Syarat Bagi Pengembangan Program BK Komprehensif
55. Program BK komprehensif (yang sistemik) membutuhkan kebijakan pendidikan di sekolah yang integratif, yaitu adanya keselarasan antara kebijakan dalam bidang pengajaran, bimbingan, pelatihan, kegiatan ekstrakurikular, kebijakan keuangan-sarana-prasarana, personalia, dll.. Program BK Komprehensif membutuhkan dukungan sekolah (dengan payung kebijakan) yang adil dan setara sehingga sekolah memberikan perhatian memadai dan setara kepada semua unsur yang penting bagi jalannya proses pendidikan. Dukungan finansial memadai, fasilitas memadai, pemberian waktu yang memadai untuk pembimbingan, pengajaran, dan kegiatan pendidikan lain di sekolah adalah bukti kebijakan pendidikan yang integratif di sebuah lembaga pendidkan.
56. Selain sebagai prasyarat, Kebijakan pendidikan yang terintegrasi juga (dapat) merupakan dampak dari Program BK Komprehensif yang terbukti kualitasnya. Kualitas program BK, hasil dan dampaknya yang positif akan melahirkan kepercayaan masyarakat sekolah (dewan guru, administrator sekolah, siswa-siswi, orang tua, komite sekolah). Kepercayaan masyarakat sekolah yang besar akan melahirkan dukungan optimal bagi program BK tersebut, sehingga program BK menjadi semakin komprehensif (lihat Figur 1).
57. Program BK komprehensif dirancang menjadi bagian integral dari proses pendidikan di sekolah4. Integrasi antara program BK dan keseluruhan program pendidikan di sekolah yang bertujuan mengembangkan aspek intelektual, dan skill diharapkan akan memberi pengaruh pada pembentukan kompetensi peserta didik yang lebih utuh. Integrasi semacam ini Kebijakan Pendidikan Terintegrasi Manajemen Program BK Komprehensif Akuntabilitas Program BK dan Hasil yang Berkuaitas Kepercayaan Masyarakat Sekolah terhadap BK Figur 1. Hubungan Timbal Balik Kebijakan Pendidikan Terintegrasi dan Program BK Komprehensif
58. 6
59. 5 Terdapat perbedaan penempatan program-program bimbingan bagi orang tua: ‘Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000) menempatkan parent education program menjadi bagian dari System Support Component sementara ‘Comprehensive Counseling and Guidance State Model for Alabama Public School’ (2003) menampatkannya sebagai bagian dari ‘guidance curriculum’.
60. membutuhkan kesamaan visi lembaga pendidikan dan semua komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, sehingga proses pendidikan (dan bimbingan) yang kolaboratif dapat diciptakan.
61. Program pendidikan yang terintegrasi nampak dalam pemberian perhatian yang seimbang terhadap tiga aktivitas penting dalam pendidikan di sekolah, yaitu Bimbingan dan Konseling yang memusatkan perhatian pada perkembangan aspek afektif-emosional, Pengajaran yang memusatkan perhatian pada perkembangan aspek perkembangan intelektual, dan kegiatan pendidikan lain yang menaruh perhatian pada pengembangan keterampilan. Perhatian yang seimbang pada 3 ranah pendidikan di sekolah ini tertuang dalam berbagai kebijakan sekolah yang memberikan porsi waktu yang relatif memadai pada tiga bidang tersebut di atas, dukungan finansial, dukungan pengembangan personil, dukungan penataan hubungan antar personil dan antar bimbingan-pengajaran-pelatihan yang harmonis.
62. 2.2. Komponen Program BK Komprehensif
63. Program Bimbingan Komprehensif terdiri dari empat komponen penting:
64.
65. (a) Kurikulum Bimbingan (School Guidance Curriculum): semua kegiatan bimbingan terprogram yang diselenggarakan dalam bentuk kegiatan kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas) bagi siswa dan pihak lain, misalnya program pendidikan keorangtuaan (Parent Education Program, parent workshop and instruction)5. Kurikulum bimbingan ini berupa layanan yang bertahap di berbagai jenjang pendidikan, sehingga perhatian pada fungsi developmental dapat terjaga. Kegiatan-kegiatan terprogram ini berpusat pada fungsi developmental dalam bidang perkembangan personal, sosial, akademik, dan karier.
66.
67. (b) Perencanaan individual (Individual Students Planning): semua aktivitas yang dipusatkan untuk membantu siswa mengembangkan, menganalisa perencanaan-perencanaan karier, studi, pengembangan diri personal dan sosial. Beberapa peran konselor yang terkait dengan komponen ini adalah membantu dalam appraisal/asesmen diri dan lingkungan, penempatan, memberi saran, pertemuan kelompok dan Konseling individual yang berisi proses membantu perencanaan.
68.
69. (c) Pelayanan Responsif (Responsive Services): adalah pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa dan stakeholder lain yang membutuhkan
70.
71. 7
72. 6 Komponen program Bimbingan komprehensif semacam ini diadopsi oleh penulis dari ‘Connecticut Comprehensive School Counseling Program’ (2000). Rekomendasi tersebut ditawarkan oleh American School Counseling Association (ASCA). Bagi program Bimbingan dan Konseling di Indonesia hanya dijadikan acuan yang harus disesuaikan dengan kondisi lokal sekolah-sekolah di Indonesia.
73.
74. penanganan segera (immediate needs). Beberapa bentuk layanan responsive antara lain: Konseling individual maupun kelompok, penyebaran informasi, penanganan krisis, konsultasi dan/atau referral.
75.
76. (d) Sistem Pendukung (Support System): Peran-peran manajemen program dari pembuatan program, menjamin implementasi (maintain and control), evaluasi, studi tindak lanjut dan pengembangan program, hubungan masyarakat (public relation) untuk memasyarakatkan program bimbingan dan Konseling komprehensif, dan penjangkauan komunitas (Community Outreach) adalah bagian penting dari support system.
77.
78. Empat komponen tersebut harus dilaksanakan dengan proposi tertentu. Berikut ini proporsi perhatian dan waktu yang harus dialokasikan untuk implementasi komponen-komponen program bimbingan dan Konseling komprehsnif yang rekomendasikan oleh ASCA.6
Komponen Program (Program Componen) Sekolah Dasar (elementary School) Sekolah Menengah Pertama (Middle school) Sekolah Menengah Atas (High School)
Kurikulum Bimbingan (Guidance Curriculum) 35-45% 25-35% 15-25%
Perencanaan Individu (Individual Planning) 10-30% 15-25% 25-35%
Layanan Responsif (Responsive Services) 30-40% 30-40% 25-35%
Sistem pendukung (System Support) 10-15% 10-15% 10-20%
Monday, January 25, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment