(Sebuah Refleksi Menjelang Hari Pendidikan Nasional)
Sejarah kelam pendidikan kita sepertinya belum berakhir. Seolah terasa degradasi moral khususnya didunia pendidikan masih terus berlanjut. Telah banyak kejadian memilukan yang terjadi di butta GOWAku yang BERSEJARAH ini terkait persoalan moral bangsa. Apalagi, mereka melakukannya di provinsi yang menitikberatkan pendidikan sebagai pilar pembangunan dengan rencana program pendidikan gratisnya -semoga bukan janji belaka.
Tampaknya kita perlu melirik kembali pemikiran seorang tokoh yang menjadi ikon pendidikan nasional. Siapa lagi kalau bukan Ki Hajar Dewantara. Pemilik nama lengkap Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini menggagas konsep pendidikan yang membebaskan. Guru bagi Ki Hajar Dewantara (KHD) adalah sosok yang patut diteladani. Keteladanan adalah hal yang mutlak dimiliki oleh pendidik. Baginya, sebelum memainkan peran sebagai fasilitator atau transformator pengetahuan, figur sebagai yang patut dicontohi yang pertama kali harus dimunculkan oleh pendidik.
Guru dalam terminologi jawa berasal dari dua suku kata yaitu gu (digugu) yang berarti dianut dan ru yang berarti ditiru (Muhammad Sobary). Keteladanan guru tak terbatas pada pemahamannya terhadap ilmu yang diajarkan. Melainkan sikap, ucapan, dan perilaku mereka juga berpengaruh terhadap pembentukan peserta didik. Makanya menjadi guru adalah pilihan suci yang tak mudah bagi siapapun. Tidak cukup hanya dengan ujian sertifikasi guru untuk membangkitkan keteladanan.
Apa yang dilakukan oleh guru SMA tadi adalah satu dari sekian banyak kisah tentang perilaku menyimpang pendidik yang memicu peserta didik untuk melakukan hal yang sama. Ini sebenarnya buah dari salah menafsirkan keteladanan. Kerap peran sebagai pendiidik dikonotasikan dengan kuasa. Hubungan vertikal guru dan murid bukannya mengangkat derajat kemanusiaan para peserta didik malah menciptakan ketakutan yang membelenggu.
Semangat zaman telah menggiring dunia pendidikan ke arah desakralisasi. Merebaknya beberapa kasus yang melibatkan aktor-aktor institusi ilmiah merupakan buah dari pendidikan kapitalistik. Transformasi nilai yang menjadi substansi pendidikan bergeser pada transformasi materi. Hubungan guru dan murid terjalin atas kepentingan finansial. Pengetahuan hanya bagi mereka yang memiliki uang.
Padahal, pesan keteladanan KHD menempatkan pendidik sebagai agen moral. Jadi, jangan tanya kenapa banyak murid yang melawan gurunya. Teringat semasa SMA dulu seorang kawan saya rela membawakan sebilah parang kepada gurunya. Ulah kawan itu lantaran jengkel melihat sikap guru yang tidak pernah ramah dalam mengajar. Setiap kali mengajar, sang hajar membawa mistar kayu sepanjang satu meter. Bukan untuk mengukur, mistar itu dibawa khusus untuk murid yang tidak mampu menjawab soal. Maksud guru saya itu mungkin baik ingin agar semua siswa mampu memahami mata pelajaran. Tapi, model punishment yang kadang tidak ilmiah itulah yang membuat sejumlah kawan saya memilih untuk tidak masuk kelas. Parahnya, kawan tadi tak lagi berani menyapa gurunya. Semacam ”syndrom takut guru”
Tulisan ini tak bermaksud menggurui guruku. Sebab penulis paham, tak semua guru seperti ini. Masih banyak sang hajar yang betul-betul memainkan perannya sebagi guru (digugu dan ditiru). Mereka inilah yang mengabdikan hidupnya demi kecerdasan anak didik. Tidak masalah berapapun besar materi yang mereka peroleh.
Karya monumental Andrea Hirata, Laskar Pelangi, menggambarkan sosok Bu Muslinah sebagai wujud guru yang memiliki keteladanan. Mengajar disebuah sekolah yang tak terjamah subsidi pemerintah dan murid yang hampir semuanya berasal dari keluarga tidak mampu. Di gedung yang sulit dibedakan antara sekolah dengan kandang ayam itulah ia mendidik murid-muridnya, Ikal, Lintang dan kawan-kawan.
Sekalipun fiksi, novel Andrea Hirata yang juga berangkat dari pengalamannya, adalah potret pendidikan tanah air. Pendidikan yang kita sadari merupakan pilar penting pembangunan negeri ternyata masih dipandang sebelah mata. Keluh kesah Andrea Hirata tentang gurunya yang kadang sulit mengepulkan asap dapur dan sekolahnya yang jauh dari kata layak setidaknya menyentil pemerintah untuk lebih serius mengentaskan kebodohan. Bukan janji politik, tapi realisasi yang diinginkan.
Peringatan hardiknas kali ini sebaiknya menjadi titik balik pendidikan Indonesia, tidak sekedar merefleksikan tapi merencanakan dan menjalankan.
Sepuluh tahun reformasi, tanda-tanda akan perbaikan pada sektor pendidikan belum terasa. Tujuan awal pendidikan yang dirintis oleh KHD dan pendiri negeri ini belum nampak hingga sekarang. Pendidikan yang membebaskan dan menyentuh semua lapisan masyarakat masih sekedar angan-angan.
Dan sepertinya akan terus menjadi angan-angan. Rencana pemerintah untuk mem-BHP-kan satuan pendidikan adalah batu sandungan untuk merealisasikan tujuan pendidikan. RUU BHP yang sudah puluhan kali di revisi masih terus diujipublikkan. Yang terakhir, pasal baru tentang tanggung jawab pemerintah pun ditambahkan. Pasal baru itu memuat bahwa pemerintah masih bertanggung jawab sekitar dua per tiga untuk keseluruhan biaya pendidikan.
Pasal inilah yang kemudian menjadi jualan RUU BHP terbaru. Pemerintah ingin mengesankan kalau mereka sudah berbaik hati dengan tetap menanggungg biaya pendidikan. Padahal, jika melirik UUD 1945 pasal 31 ayat 2 ” setiap warga negara wajib pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sangat jelas pasal ini mengaharuskan pemrintah untuk memberikan layanan pendidikan yang maksimal kepada rakyat.
Penolakan kita terhadap RUU BHP bukan karena kita tidak ingin perbaikan kualitas pendidikan. Tapi, lebih kepada rencana pemerintah untuk mereposisi tanggungjawabnya kepada publik. Bagi masyarakat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan, angka sepertiga yang harus ditanggung masih terlalu berat bagi mereka. Misalnya saja, Departemen Pendidikan Nasional menetapkan standar biaya operasional pendidikan untuk setiap mahasiswa sekitar Rp 18.000.000,- per tahun. Berarti, rakyat masih harus menanggung sekitar Rp 6.000.000,- pertahunnya. Sementara penghasilan masyarakat kita masih jauh dibawah angka ini. Belum lagi, mereka harus dibebankan dengan naiknya harga barang dan BBM yang sebentar lagi juga dicabut subsidinya.
Pendidikan gratis
Ditengah berbagai fenomena pendidikan, asa dihembuskan oleh pemerintahan baru provinsi sulawesi selatan (sulsel). Pasangan Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Agus Arifin Nu’mang (AAN) yang baru saja dilantik menjanjikan pendidikan gratis sebagai program utamanya. Walau sebenarnya ini bukan hal yang fantastis sebab amanah konstitusi kita memang mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua rakyat Indonesia. Sebuah niat positif dan perlu disikapi secara bijak. Optimisme SYL dan pasangannya untuk merealisasikan pendidikan gratis bukan utopis. Mengingat beberapa daerah yang jauh lebih rendah Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) telah merealisasikan program ini. Di Selawesi selatan saja sudah ada beberapa kabupaten/kota membebaskan siswa dari pungutan.
Hanya saja, perlu kecerdasan dalam merealisasikan program ini. salah langkah bisa fatal akibatnya. Sebaiknya pemerintah mulai meninggalkan model penyelasian masalah yang selama ini kerap digunakan, ”tambal sulam”. Sebab pendidikan gratis berarti pemerintah harus seefektif dan efisein mungkin dalam menggunakan anggaran. Diperlukan pertimbangan jangka penjang agar tidak mengorbankan generasi akan datang. sebaiknay pembiayaan pendidikan jangan sampai menggunakan pinjaman luar negeri.
Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh, menaikkan pendapatan daerah salah satunya. Atau dengan memperketat belanja pemerintah pada sektor yang tidak signifikan manfaatnya. Seperti biaya perjalann dinas atau kesejahteraan pejabat. Bupati Jembrana telah mencontohkan hal ini.
Mungkin saatnya rakyat Sulsel berkata, ”Mana mi janjita bos, sudah mi saya bantuki!”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tolong donk artikel yang di muat tentang pendidikan di Kab. Gowa
ReplyDelete