Pages

Saturday, June 6, 2009

Bahaya Liberalisme Bagi Pendidikan

tulisan ini saya kutip dari tulisan tim sukses JK-Win yang masuk di Facebook aku dan aku menganggap ini penting untuk dunia pendidikan mengetahui hal tersebut, berikut adalah isi tulisan itu:
Apakah itu Neoliberalisme? Untuk mengenal makna Neoliberalisme versus ekonomi rakyat yang sedang marak dijadikan topik kampanye para capres, masyarakat perlu memahami lebih dulu gagasan dan visi-misi di dalamnya. Apa dan bagaimana?

Sri-Edi Swasono, guru besar FEUI, mencatat Neoliberalisme memuat sedikitnya, sembilan butir pemikiran yang relevan. Kesemuanya menerjang ekonomi kerakyatan kita, tanpa kepalang tanggung lagi.

Pertama, Neoliberalisme di Indonesia adalah kelanjutan dari Liberalisme jaman penjajahan yang ditentang oleh Soekarno dan Hatta. Liberalisme adalah sukma Kapitalisme; dan Neoliberalisme adalah sukma Neokapitalisme (kapitalisme baru). Sebenarnya kita tak perlu repot-repot tentang definisi Neoliberalisme, karena Neoliberalisme adalah mekanisme penjajahan ekonomi baru.

Kedua, Indonesia menolak Liberalisme/Neoliberalisme
dengan doktrin Demokrasi Ekonomi (Pasal33 UUD 1945). UUD 1945 menegaskan doktrin kebangsaan (Nasionalisme) dan doktrin kerakyatan (kedaulatan rakyat) yang di dalam politik ekonomi tercermin dalam Pasal 33 UUD 45. Ekonomi Indonesia berdimensi nasionalisme.

Tentu kita tidak antiasing. Investasi asing tetap kita terima, tapi tidak untuk mendominasi (tidak overheersen, menjajah, menyingkirkan, atau bersifat predatorik). Ekonomi Indonesia juga berdimensi kerakyatan, artinya rakyat diutamakan. Posisi rakyat adalah sentral-substansial. Kesejahteraan bagi rakyat adalah hak sosial rakyat, bukan caritas-filantropis.

Ketiga, Neoliberalisme mengutamakan kepentingan pemodal (kapitalis). Posisi rakyat dan kepentingan nasional dalam paham Neoliberalisme diletakkan pada posisi “marginal-residual” (pinggiran). Sebaliknya, kepentingan ekonomi, pertumbuhan, kepentingan pemodal justru diangkat pada posisi yang “sentral-substansial”.

Neoliberalisme mendorong mekanisme pasar-bebas, menekan campur-tangan negara seminimal mungkin. Di sinilah Neoliberalisme mengakibatkan gugurnya “daulat rakyat” dan berkuasanya “daulat pasar” itu. Neoliberalisme percaya bahwa “tangan ajaib”-nya pasar (the invisible hand) bisa mengatur ekonomi sendiri (self-regulating).

Ini kuno dan keliru. Ketimpangan struktural harus diatasi dengan the visible hand (Negara aktif mengatur dan merombak). Kalau tidak, maka yang kuat selalu menggusur yang lemah. Pasar Neoliberal itu kejam, tanpa emosi dan tanpa moralitas-etika. Yang ada moralitas the winner-take-all.

Keempat, telah terjadi penjajahan kurikulum (hegemoni akademis) terhadap fakultas-fakultas ekonomi kita di seluruh universitas di Indonesia. Pengajaran Ilmu Ekonomi sebatas neoklasikal yang mengemban sepenuhnya paham Liberalisme/Neoliberalisme dengan pasar-bebas yang menyertainya, tidak projob, tidak propoor, tidak pula pro-economic nationalism.

Maka “daulat pasar” (daulat pemodal) menggusur “daulat rakyat”. Pasar-pasar rakyat/pasar-pasar tradisional digusur oleh supermarkets, mal, dan hypermarkets, sehingga terjadi eksklusivisme dan marjinalisasi terhadap mereka yang miskin dan lemah.

Rakyat miskin tergusur, pembangunan rakyat tidak inherent dengan pembangunan ekonomi. Pengajaran Ilmu Ekonomi di ruang kelas bisa mengalahkan pesan konstitusi (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 dst diabaikan).

Kelima, biarpun seorang ekonom bilang ia projob dan propoor, tidak otomatis ia bisa dikatakan pro-ekonomi rakyat, selama ia tidak menempatkan rakyat pada posisi sentral-substansial.

Keenam, ujud Neoliberalisme adalah pelaksanaan kebijakannya Washington Consensus (deregulasi, liberalisasi, privatisasi). Sayangnya meskipun kita tidak terikat oleh Washington Consensus, kita melaksanakannya dengan giat.

Ketujuh, bersikap projob dan propoor karena disuruh (kagum kepada) pesan-pesan ILO dan MDGs, dan bukan karena tunduk pada tuntutan konstitusi (Pasal 27 ayat 2 UUD 45) adalah Neoliberalisme, Inlander yang minder.

Kedelapan, dalam setiap kemajuan, rakyat harus secara emansipatif terbawa serta (otomatically carried along) untuk ikut maju. Pembangunan bukan menggusur orang miskin, tapi menggusur kemiskinan.

Rakyat adalah the people (jamak/plural, bukan singular). Demokrasi Indonesia berdasar paham kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism dan brotherhood/jemaah dan ukhuwah), bukan berdasar asas perorangan (Liberalisme/Individualisme).

Oleh karena itu untuk Indonesia (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945) yang kita kejar bukan sekadar “kesejahteraan” bagi rakyat, tetapi adalah “kesejahteraan sosial”, yaitu kesejahteraan bersama bagi rakyat.

Kesembilan, ita tidak boleh terjajah, kita harus menjadi Tuan di Negeri Sendiri, jangan jadi jongos globalisasi. Dengan demikian, bangsa kita harus paham apa itu Neoliberalisme, agar rakyat tidak dicengkeram Kapitalisme Neoliberal yang merupakan penghisapan dan penindasan struktural.

0 komentar:

Post a Comment