PENGERTIAN, TUJUAN, ASAS JENIS
EVALUASI BELAJAR
A. Pengertian Evaluasi Belajar
Kita sering ka1i melihat, ada seorang pembeli yang
membanding-bandingkan untuk memilih suatu barang di
supermarket, atau di pasar. Kalau akan membeli ikan maka pasti
akan dilihat dengan seksama, apakah ikan tersebut masih segar
dan layak untuk dikonsumsi. Ikan yang segar adalah jika ditekan
akan kembalo seperti sedia kala, tapi kalau yang ditekan itu jadi
legok atau tidak kembali ke posisi semula maka menunjukkan
bahwa ikan tersebut sudah tidak segar lagi. Disini ibu tersebut
sedang menilai suatu barang yaitu ikan, dia menilai kelayakan
ikan yang masih segar yaitu dengan cara melihat dan menekan
ikan tersebut apakah masih kenyal, kalau dipijat akan kembali ke
posisi semula. Selain itu juga akan dilihat dari bau ikan tersebut
sudah basi ataukan masih segar. Kalau masih kenyal dan bau
atau aromanya masih segar maka ikan tersebut masih segar dan
layak untuk dikonsumsi. Kegiatan ibu yang berbelanja tersebut
adalah kegiatan pelilaian terhadap suatu barang yang dia
inginkan. Ibu tersebut sudah mempunyai kriteria-kriteria yang
dia tentukan sendiri. Kalau ternyata barang tersebut sesuai
dengan apa yang dia inginkan dan cocok dengan kriteria yang
dia tentukan maka ibu tersebut akan membelinya, tetapi apabila
tidak sesuai dengan kriteria yang dia tentukan maka ibu tersebut
tidak jadi membelinya. Hal tersebut adalah contoh tentang
penilaian seorang ibu terhadap suatu barang. Dia melakukan
dua kali penilaian yaitu menilai terhadap kekenyalan ikan dan
yang kedua menilai dari bau atau aroma ikan tersebut. Kalau
1
kedua penilaian tersebut sudah masuk kategori, maka ibu
tersebut baru dapat memutuskan untuk membelinya ataukah
tidak.
Dilingkungan sekolah, kita melihat pula bahwa pada
waktu-waktu tertentu guru selalu mengadakan evaluasi.
Kenyataan yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia
sampai dewasa ini ialah bahwa pada akhir semester guru
mengadakan ulangan-ulangan, pada akhir tahun mengadakan
ujian-ujian kenaikan kelas, dan pada akhir kelas tertinggi pada
setiap taraf atau level pendidikan, sekolah mengadakan ujian
akhir (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Ulangan, ujian kenaikan
kelas, dan evaluasi belajar tahap akhir tadi, merupakan contoh
tentang evaluasi yang lazim dilaksanakan di setiap institusi
pendidikan.
Kita sebagai guru umumnya memahami bahwa
pendidikan adalah merupakan proses melakukan perubahan
pada diri siswa. Atau secara definitif dirumuskan, bahwa
pendidikan adalah “usaha sadar yang dilakukan untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan siswa di dalam
dan di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, kita sebagai guru
berharap agar setiap program pengajaran, setiap mata pelajaran,
dan bahkan setiap unit pelajaran yang kita sajikan dapat
membawa perubahan yang berarti bagi diri anak didik. Siswa
seharusnya mengalami perubahan perilaku setelah mengikuti
pelajaran. Dan seharusnya ada perbedaan perilaku antara
mereka yang mengikuti pelajaran suatu unit pelajaran atau suatu
program pengajaran dengan yang tidak semestinya. Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa suatu program pengajaran akan
menghasilkan perubahan yang sama pada setiap siswa yang
2
mengikutinya. Usaha untuk mengetahui ada dan tidaknya
perubahan, atau tingkat perubahan yang terjadi pada diri siswa
inilah yang termasuk dalam kawasan evaluasi.
Dalam hubungan ini, kita sekarang ingin menyoroti hal-
hal yang berkenaan dengan evaluasi, khususnya dalam kontek
dengan proses belajar mengajar, yang dilaksanakan di sekolah.
Karena evaluasi merupakan salah satu proses dalam pengajaran,
yang dalam batas-batas tertentu dapat merupakan indikator
yang mempengaruhi perubahan perilaku siswa.
Istilah evaluasi atau penilaian adalah sebagai
terjemaban dari istilah asing “evaluation”. Dan sebagai panduan,
menurat Benyamin S. Bloom (Handbook on Formative and
Sumative Evaluation of Student Learning) dikemukakan, bahwa:
“Evaluasi adalah pengumpulan bukti-bukti yang
cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada
tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi
pada diri siswa atau anak didik”
Apabila alur fikiran yang terkandung dalam definisi itu
kita ambil sebagai pegangan, maka logis apabila kita bersikap,
bahwa dalam melakukan evaluasi kita sebagai guru harus yakin
bahwa pendidikan dapat membawa perubahan pada diri siswa.
Oleh karena itu dalam kegiatan evaluasi kita harus melakukan
setidak-tidaknya dua hal yaitu:
1) Mengumpulkan bukti-bukti yang cukup;
2) Menetapkan ada tidaknya perubahan, dan derajat perubahan
yang terjadi pada diri siswa.
Bukti-bukti yang dikumpulkan dapat bersifat kuantitatif
(dalam bentuk angka-angka), dan dapat pula bersifat kualitatif,
yaitu menunjukkan kualifikasi seperti: baik sekali, baik, sedang
atau cukup, rajin, cermat dan lain-lainnya. Bukti-bukti kuantitatif
atau kualitatif yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan
3
tertentu agar dapat dijadikan dasar pengambilan keputusah ada
tidaknya perubahan perilaku serta derajat perubahan yang ada
secara adil dan obyektif.
Disamping itu, masih ada beberapa point yang perlu
diketahui, yaitu batasan antara evaluasi dan pengukuran.
Pengertian evaluasi dan pengukuran sangat erat hubungannya,
sehingga sulit untuk diterangkan perbedaan secara khas. Ada
sementara orang memakai kedua istilah itu silih berganti, karena
menganggap identik. Ada lagi sementara orang yang memakai
kedua istilah itu sebagai yang bersifat kesinambungan. Dalam
arti bahwa kegiatan pengukuran pendidikan akan dilanjutkan
dengan evaluasi. Atau sebalikhya, untuk dapat melakukan
penilaian sesuatu diperlukan data/bahan dari hasil pengukuran.
Oleh karenanya, pengukuran dapat dirumuskan sebagai
kegiatan untuk menetapkan dengan pasti tentang luas, dimensi,
atau kualitas sesuatu, dengan membandingkan dengan ukuran
tertentu. Sedangkan evaluasi sebagai usaha untuk memberikan
nilai terhadap hasil pengukuran tersebut.
Jika diterapkan dalam pengukuran hasil belajar, maka
mengukur akan diperoleh skore tertentu, dan dengan
mengevaluasi akan diintepretasikan apakah seseorang siswa
yang memperoleh skore tertentu tersebut tergolong anak yang
pandai atau bodoh menurut norma tertentu. Jadi misalnya si Arief
memperoleh nilai 9, berarti ia telah wenguasai 90% dari
keseluruhan yang dipersyarat untuk mancapai tingkat atau
perilaku tertentu.
B. Tujuan Evaluasi Belajar
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tujuan
evaluasi secara umum adalah untuk mengetahui ada atau
4
tidaknya perubahan pada diri anak didik serta tingkat perubahan
yang dialaminya setelah ia mengikuti PBM. Tetapi sebenarnya hal
tersebut baru merupakan sebagian dari tujuan evaluasi dalam
arti yang sebenarnya. Kita harus masih mengenal dimensi tujuan
lain. Misalnya sebagaimana dirumuskan di dalam Kurikulum 1975
(Buku III B - tentang Pedoman Penilaian), dapat kita baca bahwa
tujuan atau fungsi evaluasi belajar siswa di sekolah pada
dasarnya dapat digolongkan kedalam 4 (empat) kategori yaitu:
1. Untuk memberi umpan balik (feedback) kepada guru, sebagai
dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan
mengadakan revisi program dan remidial program bagi siswa.
2. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-
masing siswa, yang antara lain diperlukan untuk memberikan
laporan kepada para orang tua siswa, penetapan kenaikkan
kelas, dan penentuan lulus tidaknya siswa.
3. Untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar
yang tepat (misalnya dalam penentuan jurusan) sesuai
dengan tingkat kemampuan dan atau karakteristik lain yang
dimiliki siswa.
4. Untuk mengenal latar belakang (psikologi, pisik, dan
lingkungan) siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.
Yang hasilnya dapat dipakai sebagai dasar untuk
memecahkan kesulitan-kesulitan tersebut.
C. Asas-asas Evaluasi Belajar
Agar supaya evaluasi berlajar benar mencapai sasaran,
yaitu untuk mengetahui tingkat perubahan tingkah laku atau
keberhasilan siswa, maka harus dilaksanakan dengan
berdasarkan pada suatu asas atau prinsip mapan.
Adapun asas atau prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah:
5
1. Evaluasi harus dilaksanakan secara terus menerus
Maksud evaluasi yang dilaksanakan secara terus-
menerus atau continue ialah agar kita (guru) memperoleh
kepastian atau kemantapan dalam mengevaluasi. Dan dapat
mengetahui tahap-tahap perkembangan yang dialami oleh
siswa.
2. Evaluasi harus menyeluruh (Conprehensive)
Evaluasi yang menyeluruh ialah yang mampu
memproyeksikan seluruh aspek pola tingkah laku yang
diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan. Untuk dapat
melaksanakan evaluasi yang memenuhi asas ini, maka setiap
tujuan instruksional harus telah dijabarkan sejelas-jelasnya,
sehingga dapat dijadikan pedoman untuk melakukan
pengukuran. Alat atau instrument evaluasi harus mengandung
atau mencerminkan itemitem yang representatif, yang
dijabarkan dari tujuan-tujuan instruksional yang telah disusun.
Untuk keperluan pembuatan soal tes yang demikian guru
dapat membuat "Tabel spesifikasi tujuan", sebagai alat bantu
guna menjaring item-item yang mewakili perilaku yang
diharapkan. Disamping itu tabel speasifikasi tersebut juga
dapat membantu guru dalam usaha memenuhi validitas alat
pengukur.
3. Evaluasi harus obyektif (Obyective)
Asas ini dimaksudkan, bahwa didalam proses evaluasi
hanya menunjukkan aspek yang dievaluasi dengan keadaan
yang sebenarnya. Jadi didalam mengevaluasi hasil pendidikan
dan pengajaran guru tidak boleh memasukkan faktor-faktor
subyektif dalam memberikan nilai kepada siswa.
4. Evaluasi harus dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik
6
Asas ini diperlukan, sebab untuk dapat memberikan
penilaian secara obyektif diperlukan informasi atau bukti -
bukti yang relevant dan untuk itu dibutuhkan alat yang tepat
guna. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk
alat pengukur yang baik, yaitu:
a. Validitas
Validitas alat pengukur berhubungan dengan
ketepatan dan kesesuaian alat untuk menggambarkan
keadaan yang diukur sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Ketepatan berhubungan dengan pemberian
informasi persis (akurat) seperti keadaannya. Atau dengan
perkataan lain disebut sahih. Sedang kesesuaian
berhubungan dengan efektivitas alat untuk memerankan
fungsinya sesuai dengan yang dimaksud dari alat pengukur
tersebut.
b. Reliabilitas
Realiabilitas alat pengukur berhubungan dengan
kestabilan, kekostanan, atau ketepatan test. Suatu test
akan dinyatakan reliabel apabila test tersebut dikenakan
kepada sekelompok subyek yang sama, tetap memberikan
hasil yang sama pula, walaupun saat pemberian testnya
berbeda. Tinggi rendahnya reliabilitas alat pengukur alat
pengukur dapat diketahui dengan menggunakan teknik
statistik. Yaitu dengan mengklasifikasikan antara hasil
pengukuran pertama dan hasil pengukuran kedua dari
bahan test yang sama, atau test yang lain yang dianggap
sama (ekuivalen).
5. Evaluasi harus deskriminatif
7
Kegiatan evaluasi yang dapat memenuhi asas ini akan
mampu membedakan tentang keadaan yang diukur apabila
keadaannya memang berbeda. Jadi test hasil belajar dapat
dikatakan deskriminatif apabila test tersebut dapat
membedakan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memang
mempunyai kemampuan yang tidak sama. Apabila UnyiI
keadaanya memang lebih pandai dari si Badu maka test itu
harus dapat mengetahui atau mengungkapkan perbedaan
yang dimiliki oleh kedua anak tersebut
D. Jenis-jenis Evaluasi Belajar
Sehubungan dengan 4 (empat) tujuan sebagaimana
dituangkan di dalam sub bab yang terdahulu, selanjutnya
kurikulum 1975 membedakan evaluasi prestasi belajar siswa di
sekolah menjadi 4 (empat) jenis yaitu:
1. Evaluasi Formatif
Adalah evaluasi yang ditujukan untuk memperbaiki
proses belajar mengajar. Jenis evaluasi wajib dilaksanakan
oleh guru bidang studi setelah selesai mengajarkan satu unit
pengajaran tertentu.
2. Evaluasi Sumatif
Adalah evaluasi yang ditujukan untuk keperluan
penentuan angka kemajuan atau hasil belajar siswa. Jenis
evaluasi ini dilaksanakan setelah guru menyelesaikan
pengajaran yang diprogramkan untuk satu semester. Dan
kawasan bahasanya sama dengan kawasan bahan yang
terkandung di dalam satuan program semester.
3. Evaluasi Penempatan
8
Adalah evaluasi yang ditujukan untuk menempatkan
siswa dalam situasi belajar atau program pendidikan yang
sesuai dengan kemampuannya.
4. Evaluasi Diagnostik
Adalah evaluasi yang ditujukan guna membantu
memecahkan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa
tertentu.
Jenis evaluasi formatif dan sumatif terutama menjadi
tanggungjawab guru (guru bidang studi), evaluasi
penempatan dan diagmostik lebih merupakan tanggungjawab
petugas bimbingan penyuluhan. Oleh karena itu wajar apabila
dalam tulisan ini hanya mengaksentuasi pada jenis penilaian
yang pertama dan jenis yang kedua.
Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
Sebagai salah satu perwujudan dari usaha pembaharuan
bidang pendidikan di Indonesia, ialah dibakukannya Kurikulum
1975, yang di dalamnya tersurat juga suatu pedoman guru
dalam melaksanakan penilaian atau evaluasi hasil belajar siswa.
Karena di atas telah disinggung bahwa evaluasi yang menjadi
tanggungjawab guru bidang studi adalah evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif, maka untuk memberikan gambaran yang jelas
dan tegas, berikut akan diuraikan batasan pengertian dan teknik
pelaksanaannya.
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan oleh guru
selama dalam perkembangan atau dalam kurun waktu proses
pelaksanaan suatu Program Pengajaran Semester. Dengan
maksud agar segera dapat mengetahui kemungkinan adanya
penyimpang-penyimpangan, ketidak sesuaian pelaksanaan
dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Karena
9
dilaksanakan setelah selesai mengajarkan satu unit pengajaran
(mungkin sesuatu topik atau pokok bahasan), maka ternyata
apabila ada ketidaksesuaian dengan tujuan segera dapat
dibetulkan. Oleh karena itu,
fungsi dari pada evaluasi ini
terutama ditujukan untuk memperbaiki proses bolajar mengajar.
Dan karena scope bahannya hanya satu unit pengajaran, dan
dalam satu semester terdiri dari beberapa unit, maka
pelaksanaan evaluasi ini frekuensinya akan lebih banyak
dibanding evaluasi sumatif. Umumnya frekuensi tes formatif ini
berkisar antara 2 - 4 kali dalam satu semester.
Sedangkan yang dimaksud dengan evalusi sumatif adalah
evaluasi yang dilaksanakan oleh guru pada akhir semester. Jadi
guru baru dapat melakukan evaluasi sumatif apabila guru yang
bersangkutan selesai mengajarkan seluruh pokok bahasan atau
unit pengajaran yang merupakan forsi dari semester yang
bersangkutan. Oleh karena itu evaluasi ini dimaksudkan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai siswa selama satu
semester. Jadi fungsinya untuk mengetahui kemajuan anak didik.
Akhirnya, untuk menambah kejelasan didalam
pelaksanaannya, berikut penulis rumuskan perbedaan dari kedua
jenis evaluasi tersebut.
10
Evaluasi Formatif Evaluasi Sumatif
Tujuannya untuk memperbaiki
Tujuannya untuk mengetahui
PBM.
hasil atau tingkat kemajuan
belajar siswa.
1. Dilaksanakan setelah
1. Dilaksanakan setelah selesai
mengajarkan seluruh unit
mengajarkan suatu unit
pengajaran, yang menjadi
pengajaran tertentu.
forsi sesuatu semester.
2. Frekuensinya 1 x dalam satu
2. Frekuensi 2 – 4 kali dalam
semester.
satu semester.
3. Lingkup atau scope
3. Lingkup atau scope
bahannya luas.
bahannya sempit.
4. Obyeknya meliputi berbagai
4. Obyeknya hanya terdapat
aspek perilaku.
suatu aspek perilaku.
Bobot atau kadar nilainya
5. Bobot atau kadar nilainya
tinggi.
rendah.
Mengingat karakteristik dari masing-masing jenis evaluasi itu,
maka guna penentuan nilai akhir (misalkan nilai raport),
diberikan pedoman sebagai berikut :
Jika seorang siswa misalnya si Arief dalam suatu semester
mengikuti evaluasi formatif 4 (empat) kali dan hasilnya: 6, 8, 8,
10. Kemudian sewaktu mengikuti evaluasi sumatif mendapat nilai
9, maka nilai akhir Arief untuk mata pelajaran itu menjadi:
dibulatkan menjadi 9,00
Jadi bukannya:
dibulatkan menjadi 8,00
Yang terakhir panduan untuk menentukan nilai akhir itu menurut
Kurikulum 1984 disempurnakan menjadi:
Rumus menentukan nilai raport:
11
Keterangan
N = nilai raport
p = nilai rata-rata evaluasi formatif
q = nilai rata-rata kegiatan kokurikuler
r = nilai evaluasi sumatif
Nilai pada p, q, dan r belum ada pembulatan, pembulatan baru
dilakukan pada N (nilai raport).
E. Kriteria Evaluasi
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa evaluasi adalah
merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan bukti-bukti
yang kemudian dijadikah dasar dalam pengambilan keputusan
tentang keberhasilan siswa mengikuti pelajaran. Agar
pengambilan keputusan tidak merupakan perbuatan yang
subyektif, maka diperlukan patokan tertentu. Kriteria tersebut
berfungsi sebagai ukuran, apakah seseorang telah memenuhi
persyaratan untuk digolongkan sebagai siswa yang berhasil,
pandai, baik, naik kelas, lulus atau tidak. Kriteria penilaian itu
disebut
dengan istilah “Standar Penilaian”. Dan standar penilaian
yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Standar Penilaian Yang mutlak.
2. Standar Perilaian Yang Relatif.
Standar Penilaian Yang Mutlak.
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah “Penilaian Acuan Patokan”
atau disingkat PAP. Dan istilah ini merupakan terjemahan dari
istilah asing “Criterion Referenced”. Standar
ini bersifat tetap
atau bahkan tidak dapat ditawar. Dalam artian bahwa kriteria
keberhasilan siswa itu tidak dipengaruhi oleh prestasi suatu
12
kelompok siswa. Apabila kita menggunakan standar ini, maka
keberhasilan atau kegagalan siswa dalam mengikuti pelajaran
ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya (sebelum evaluasi dilaksanakan). Pelaksanaan
standar PAP ini dapat diberikan contoh sebagai berikut:
Misalnya untuk dapat dinyatakan lulus, siswa harus dapat
menjawab dengan betul paling sedikit 70% dari pernyataan
yang disediakan. Ini berarti bahwa siswa yang menjawab
benar kurang dari 70% dari jumlah soal yang disediakan,
dinyatatan tidak berhasil atau tidak lulus.
Langkahnya dapat didiskripsikan sebagai berikut:
1. Menetapkan kualifikasi nilai minimal yang dapat diterima,
misalnya: 5,50; 6,0; atau 7,0 dan sebagainya, sebagai batas
lulus atau passing grade.
Atau batas kesalahan minimal yang
masih dapat dimaafkan dalam suatu penilaian. Ketentuan
tersebut terserah kepada guru.
2. Membandingkan angka nilai (prestasi) setiap siswa dengan
nilai passing grade tersebut. Secara teoritis maka mereka
yang angka nilai prestasinya berada di bawah batas lulus,
dinyatakan tidak berhasil.
Standar Yang Relatif
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah “Penilaian Acuan
Normal”atau disingkat PAN. Dan istilah ini merupakan alih
bahasa dari istilah asing “Norm Referenced”. Berbeda dengan
standar mutlak, pada standar yang relatif ini keberhasilan siswa
ditentukan oleh posisinya di antara kelompok siswa yang
mengikuti evaluasi. Dengan lain perkataan, bahwa keberhasilan
seseorang siswa dipengaruhi oleh tempat relatifnya
dibandingkan dengan prestasi rata-rata kelompok. Dengan
13
menggunakan standar relatif, dapat terjadi bahwa siswa yang
prosentasi (%) jawaban yang benar hanya 50% dapat dinyatakan
lulus atau berhasil, karena kebanyakan teman-teman yang lain
mencapai angka prosentasi yang lebih rendah. Sebagai contoh
misalnya:
Dalam suatu kelas, ujian tulis IPS yang diikuti oleh 30 orang
siswa diberikan 100 buah soal. Ternyata kebanyakan siswa
hanya berhasil menjwab 56 soal dengan betul, dan dapat
dinyatakan lulus. Pada kelas lain, dari 100 soal yang
diujikan rata-rata siswa berhasil menjawab dengar benar
90 soal, sehingga si Badu yang berhasil menjawab dengan
benar 65 soal, dinyatakan tidak berhasil atau gagal.
Dengan demikian kriteria keberhasilan masing-masing kelas
tidak sama. Sehingga keberhasilan seseorang siswa baru dapat
ditentukan setelah prestasi kelompoknya diketahui. Dan jenis
standar ini tepat dipakai oleh guru, apabila ia akan mengetahui
kedudukan siswa dalam kelompok/ kelasnya. Mengingat
karakteristik dari masing-masing standar itu, dan sesuai dengan
prinsip ketuntasan belajar, bahwa “pengolahan skor yang
diperoleh siswa diperlakukan dengan menggunakan standar
mutlak atau Penilaian Acuan Patokan (PAP)”.
Misalnya:
Item soal yang harus dikerjakan siswa adalah 40 buah.
Setiap butir soal yang dapat dijawab benar oleh siswa
diberi skor 1 (satu). Jadi skor maksimal yang mungkin
dicapai adalah 40. Ani memperoleh skor 24. Ini berarti Ani
menguasai
tujuan/bahan pelajaran, maka nilai untuk Ani adalah 6,00
tujuan/bahan pelajaran, maka Budi akan mendapat nilai
9,00
14
Disamping itu penulis informasikan pula, bahwa skala nilai yang
dipergunakan dalam buku raport dan STTB adalah skala 0 - 10.
Sehingga taraf penguasaan 60% sama dengan nilai 6,00 (enam),
dan taraf penguasaan 90% sama dengan nilai 9,00 (sembilan),
dan seterusnya.
15
Rangkuman
Atas dasar uraian-uraian sebagaimana dikemukakan di
atas, dapatlah dibuatkan suatu ikhtisar yang berkenaan dengan
topik BAB I sebagai berikut:
1. Evaluasi Belajar adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup
untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya
perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri
siswa, setelah mengikuti proses belajar mengajar.
2. Tujuan diadakan evaluasi belajar adalah:
5.1 Untuk memperbaiki proses belajar mengajar (PBM).
5.2 Untuk menemukan angka kemajuan hasil belajar siswa.
5.3 Untuk penjurusan.
5.4 Untuk mengenal latar belakang siswa yang mendapatkan
kesulitan belajar.
3. Asas-asas evaluasi belajar adalah meliputi:
5.1 Dilaksanakan secara terus menerus.
5.2 Menyeluruh.
5.3 Obyektif.
5.4 Dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik.
5.5 Deskriminatif.
4. Jenis-jenis evaluasi yang dilaksanakan di sekolah adakag:
5.1 Pre Test
5.2 Post Test
5.3 Formatif Test
5.4 Sumiatif Test
5.5 Diagnostik Test
5.6 Placement Test
Jenis test yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi/
guru fak adalah kecuali 4.5 dan 4.6 di atas.
5. Kriteria evaluasi dapat dibedakan menjadi:
16
5.1 Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Criterion Referenced.
5.2 Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm Referenced.
Standar atau kriteria evaluasi yang ideal untuk dipakai di
sekolah adalah standar PAP.
17
Saturday, May 8, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment